Sejarah Perjuangan Rakyat Kuala Tungkal Tanjung Jabung Barat disadur dari buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi. Departemen P & K. (1985). Karya Kita: Jambi.
BAB I
PENDAHULUAN
Sebelum
datangnya kekuasaan Asing yaitu kekuasaan Belanda dan Jepang, di
daerah Jambi ada kerajaan yang berdiri sendiri yang disebut Kerajaan
Jambi. Kemudian setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan daerah Jambi
merupakan daerah kerisedanan yang terdiri atas Kabupaten Merangin,
Kabupaten Batanghari dan Kotapraja Jambi. Kerisedanan Jambi tersebut
merupakan bagian daroi Propinsi Sumatera Tengah. Setelah Jambi menjadi
propinsi, daerah kabupaten Merangin dibagi menjadi dua kabupaten yaitu
Kabupaten Bungo-Tebo dan Sarolangun-Bangko. Sedangkan kabupaten
Batanghari dibagi pula menjadi dua kabupaten yaitu kabupaten Batanghari
dan Tanjung Jabung. Adapun Kotapraja Jambi sekarang menjadi Kotamadya
Jambi.
BAB II
KEADAAN DI DAERAH JAMBI
PADA AKHIR ABAD KESEMBILAN BELAS
A. Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan
Wilayah administrasi kerajaan Jambi meliputi daerah-daerah sebagaimana tertuang dalam adagium: “Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Batangnyo Alam Rajo”.
Ada pendapat yang menganalogikan sembilan lurah dengan sembilan sungai yang ada di daerah Jambi yaitu:
- Batang Merangin
- Batang Masumai
- Batang Tabir
- Batang Pelepat
- Batang Senamat
- Batang Tebo
- Batang Bungo
- Batang Jujuhan
- Batang Abuan Tungkal
Secara geografis, keseluruhan daerah wilayah kerajaan Jambi itu dapat dibagi atas dua bagian besar yakni:
- Daerah Huluan Jambi, yang meliputi:
a. Daerah aliran sungai Tungkal Ulu
b. Daerah aliran sungai Jujuhan
c. Daerah aliran sungai Batang Tebo
d. Daerah aliran sungai Tabir
e. Daerah aliran sungai Merangin dan Pangkalan Jambi
- Daerah Hilir Jambi, meliputi daerah yang dibatasi oleh Tungkal Ilir sampai Rantau Benar ke Danau Ambat yakni pertemuan sungai Batanghari dan Batang Tembesi, sampai perbatasan dengan daerah Palembang.
Sejalan
dengan wilayah daerah administrasi kerajaan Jambi, pepatah adat
Jambipun menyebutkan batas-batas wilayah kerajaan Jambi sebagai berikut:
Dari Ujung Jabung sampai Durian Takuk Rajo
Dan Sialang Belantak besi sampai Bukit Tambun Tulang
Artinya:
a. Ujung Jabung, yaitu daerah pantai Jambi, daerah Tungkal.
b. Durian Takuk Rajo, yaitu daerah Samalidu.
c. Sialang Belantak Besi, yaitu daerah Sitinjau Laut.
d. Bukit Tambun Tulang yaitu Bukit Tiga, Singkut.
BAB III
KEADAAN DI DAERAH JAMBI DARI TAHUN
1900-1928
A. Pengaruh Politik Kolonial Belanda dan Desentralisasi Di Daerah
Politik
Kolonial sebenarnya tidak lain adalah usaha bagaimana untuk menguasai
suatu daerah atau wilyah dengan menduduki serta mengeksploitasi semua
potensi yang ada, baik dengan cara perundingan taupun dengan kekerasan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Contelir dibantu oleh District Hoofden dan Onder District Hoofden yang
diberi gelar Demang dan Asisten Demang. Wilayah pemerintahan distrik
yang dikepalai Demang itu sama dan masuk lingkungan status daerah
pemerintahan kontelir (afdeeling) tadi, terkecuali afdeeling Jambi yang terbagi atas dua distrik yaitu Distrik Jambi dan Distrik Tungkal.
Dengan demikian Jambi terdapat dan 8 distrik yaitu terdiri dari:
- Distrik Jambi
- Distrik Kuala Tungkal
- Distrik Muara Tembesi
- Distrik Muara Tebo
- Distrik Muara Bungo
- Distrik Bangko
- Distrik Sarolangun
- Distrik Kerinci
Distrik-distrik yang dikepalai oleh Demang ini dibagi atas Onder Distrik yang dikepalai oleh asisten demang. Gewest Jambi pada masa ini, mempunyai 18 Onder Distrik. Pemerintahan Asisten Demang dibantu pula oleh Kepala-kepala Adat, Pasirah Kepala Marga dan lapisan bawah kepala-kepala dusun.
B. Organisasi Professional
Organisasi yang ada di daerah Jambi pada kurun waktu ini (antara 1900-1928) antara lain ialah:
1. Organisai Buruh Pelabuhan, organisasi ini terdapat di pelabuhan Jambi dan Kuala Tungkal.
2. Persatuan Guru Agama, terdapat hampir di setiap onder afdeeling dalam Keresidenan Jambi.
3. Persatuan Dagang atau Serikat Dagang, terutama persatuan pedagang karet di Jambi dan Tungkal Ilir.
BAB IV
KEADAAN DI DAERAH JAMBI DARI TAHUN
1900-1928
A. Interaksi Terhadap Kegiatan Organisasi/Partai
Di antaranya organisasi tersebut adalah Gerakan Indonesia Berparlemen (Akhir 1930-an).
Dalam
hubungan Gerakan Indonesia Berparlemen ini Thaib Hanafiah ketua PPKS
(Persatuan Pemuda Kita Setia), ada menulis artikel yang dimuat dalam
majalah “Penyedar” yang terbit di Medan dan dipimpin oleh Matumona,
dengan judul “Gerakan Indonesia Berparlemen dan Nasibnya Rakyat Jambi”.
Artikel ini dapat sambutan baik dari pemuka-pemuka rakyat ketika itu
di antaranya dari Ahmad Muhi di Kuala Tungkal dan Nurmuhammad di Jambi.
B. Budaya
Seni
musik tradisional kromong dan kelintang yaitu campuran seni musik Jawa
dan Jambi sudah hilang dalam masyarakat Jambi. Seni musik kromong dan
kelintang ini dulunya terdapat di seluruh wilayah Jambi. Sisa-sisa
peninggalan seni musik kromong dan kelintang ini masih dapat kita jumpai
di Mandiangin, Muara Tembesi, Kuala Tungkal, Pulau Temiang dan Pelepat
Hulu.
Zaman Jepang (1942-1945)
C. Kedatangan Pasukan Jepang
Pada
waktu ini seluruh Sumatera dipimpin oleh seorang Gubernur yang
membawahi sepuluh Kersidenan. Keresidenan Jambi ketika ini mengenal dua
Asisten Residen yaitu:
1. Asisten Residen Bangko
2. Asisten Residen Jambi Ilir
Asisten Jambi Ilir membawahi tiga onder afdeeling yaitu:
a. Onder Afdeeling Kota Jambi
b. Onder Afdeeling Muara Tembesi
c. Onder Afdeeling Taman Raja Tungkal Ulu
D. Sikap Jepang Terhadap Aparatur Pemerintah Hindia-Belanda
Dengan demikian pada masa Jepang di Jambi, Syucokan membawahi enam Bunsyu-Co yaitu:
1. Bunsyu-Co Bungo berkedudukan di Muara Bungo
2. Bunsyu-Co Tebo berkedudukan di Muara Tebo
3. Bunsyu-Co Tungkal berkedudukan Kuala Tungkal
4. Bunsyu-Co Tembesi berkedudukan Muara tembesi
5. Bunsyu-Co Sarolangun berkedudukan Sarolangun
6. Bunsyu-Co Bangko berkedudukan Bangko
Sejarah Perjuangan Rakyat Kuala Tungkal Tanjung Jabung Barat disadur dari buku Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Departemen P & K. (1986). Karya Kita: Jambi.
PENDAHULUAN
Keadaan Umum Daerah Jambi
Tepatnya
sejak tanggal 6 Januari 1957, daerah Jambi menjadi daerah tingkat I
yang terdiri atas satu kotamadya dan lima kabupaten yaitu:
1. Kotamadya Jambi
2. Kabupaten Batanghari
3. Kabupaten Tanjung Jabung
4. Kabupaten Bungo Tebo
5. Kabupaten Sarolangun Bangko
6. Kabupaten Kerinci
Menurut
keadaan tanahnya, daerah propinsi Jambi sebagian besar merupakan
dataran rendah, dan hanya sebagian kecil merupakan daerah dataran tinggi
dan pegunungan, dataran-dataran rendah yang luas terdapat di darah
kotamadya Jambi, kabupaten Batanghari, kabupaten Tanjung Jabung,
kabupaten Bungo Tebo, dan sebagian dari daerah kabupaten Sarolangun
Bangko. … daerah dataran rendah yang luas terbentang dari daerah pantai
kabupaten Tanjung Jabung sampai ke kabupaten Bungo Tebo itu, …
Di daerah pantai kabupaten Tanjung Jabung rakyat terutama menanam kelapa, dan mencari hasil laut, seperti ikan dan kerang.
BAB I
KEADAAN DI DAERAH JAMBI
PADA MASA KEPENDUDUKAN JEPANG 1942-1945
BENTUK DAN SUSUNAN TATA PEMERINTAHAN
Adapun dalam hal pembagian wilayah Jambi-Syu, Jepang tetap berpedoman kepada susunan wilayah zaman pemerintahan Belanda di Jambi. … Sejalan dengan itu, maka Jambi-Syu terdiri dari atas tujuh Bunsyu yaitu:
1. Bunsyu Jambi (Jambi)
2. Bunsyu Tembesi (Muara Tembesi)
3. Bunsyu Tungkal (Kuala Tungkal)
4. Bunsyu Tebo (Mauara Tebo)
5. Bunsyu Bungo (Muara Bungo)
6. Bunsyu Bangko (Bangko)
7. Bunsyu Sarolangun (Sarolangun)
Sedangkan luas daerah Bunsyu Tungkal sama dengan luasnya daerah kabupaten Tanjung Jabung.
Sedangkan orang Indonesia yang memegang tampuk pemerintahan di daerah Jambi pada ketika ini ialah: M. Bahsan, sebagai Gunco Tungkal.
Orang-orang Indonesia
juga ada yang turut memegang pimpinan kepolisian pada masa
pemerintahan Jepang di daerah Jambi, di antaranya ialah: Suparjo,
Kepala Polisi Tungkal.
BAB II
KEADAAN DI DAERAH JAMBI
SESUDAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN
A. Berita Proklamasi Kemerdekaan Di Daerah Jambi
Kemudian
berita proklamasi kemerdekaan ini disebarluaskan ke seluruh pelosok
daerah Jambi, dan hanya dalam beberapa hari setelah proklamasi 17
Agustus 1945 dilakukan, maka rakyat di daerah Sarolangun, Bangko, Bungo,
Tebo, Batanghari, Tungkal dan Kerinci sudah mengetahui bahwa Indonesia
telah merdeka.
Tersiarnya
berita kemerdekaan Indonesia disambut dengan tempik sorak dan
kegembiraan oleh rakyat daerah Jambi yang selama masa penjajahan
diliputi oleh peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, kehidupan yang
melarat dan penindasan. Selanjutnya dengan adanya peneranga-penerangan
dari pemuka-pemuka rakyat mengenai kewajiban untuk memepihara dan
mempertahankan kemerdekaan itu, maka secara spontan alim ulama,
golongan adat, pemuda, cerdik pandai, bersatu dalam satu barisan rakyat
yang siap terjun ke dalam perjuangan kemerdekaan.
B. Pembentukan Organisasi Kemiliteran (Perjuangan Bersenjata) Di Daerah Jambi
Adapun
persenjataan dan perlengkapan militer di daerah Jambi diperoleh dengan
barbagai usaha. Ada senjata yang diperoleh melalui rampasan dari tentara
Jepang, dan ada juga pemasukan senjata gelap dari Siangpura.
1. Timbulnya organisasi kemiliteran dan perjuagan
Barisan-barisan
rakyat atau kelasykaran itu di antaranya ialah: Hizbullah di daerah
Tanjung Jabung dan Kerinci, Lasykar Hizbullah ini merupakan kekuatan
yang tangguh di samping TRI Hizbullah di Tanjung Jabung dengan pusatnya
Kuala Tungkal dipimpin oleh guru H. Daud di Kerinci, Hizbullah dipimpin
oleh Patih Saleh dan H. Imran.
Sesuai
dengan perkembangan itu, maka dalam periode TNI ini, Resimen 2 TRI
Jambi diubah namanya menjadi Brigade Garuda Putih. sebagai Komandan
Brigade Garuda Putih diangkat Kolonel TNI Abunjani, yang dalam melakukan
tugasnya dibantu oleh perwira staf antara lain Mayor Brori Mansyur dan
Kapten M. Kokoh.
Brigade Garuda Putih terdiri atas 4 batalyon yakni:
a. Batalyon
I, berkedudukan di Kuala Tungkal dengan komandan batalyonnya Letnan
Kolonel Harun Sohar, dibantu oleh beberapa orang perwira lainnya, antara
lain ialah Mayor Z. A. Rivai, Kapten Ismail Malik, Kapten Thaib. RH,
Letnan Muda Fattah Lesiden, Letnan Muda Laman Yatub, dan Letnan Muda Mat
Dahan.
b. Bataliyon
2, berkedudukan di Bangko, dengan Komandan Batalyon Kapten H. Teguh,
dibantu oleh Letnan I Syamsuddin Uban, Letnan II Hinohili, Letnan Muda
Jamari.
c. Bataliyon
3, berkedudukan di Sarolangun yang pada mulanya diangkat Letnan
Kolonel Harun Sohar sebagai komandannya, namun karena tenaganya
diperlukan untuk memimpin pasukan atau batalyon di Kuala Tungkal,
akhirnya ditempatkan di Kuala Tungkal. Adapun perwira-perwira yang
memipin Batalyon 3 ini antara lain ialah: Letnan I M. Sayuti, Letnan I
M. Zainal, Letnan I M. Sadaini, Letnan II Aziz Larose, Letnan II H.
Ibrahim, Letnan Muda M. Syukur, Letnan Muda Bahman Thaib Letnan Sersan
Mayor Kadet Parluhutan Lubis.
d. Batalyon
4, berkedudukan di Bungo Tebo. Batalyon ini dipimpin oleh Kapten
Hasyim Maluwai sebagai Komandan, dibantu oleh Kapten Ramli, Letnan I
Hasan Effendi, Letnan I Said Abdullah, dan Letnan Muda Husein Saad.
2. Partisipasi masyarakat
a. Palang Merah
Di
samping di kota-kota, maka pada waktu revolusi kemerdekaan, juga di
front pertempuran dibentuk Palang Merah dalam daerah Jambi. Dengan
adanya Palang Merah, maka korban perjuangan banyak yang terbantu dan
tertolong. Di front Tungkal, dengan adanya kegiatan Palang Merah yang
dipimpin oleh Hatusila, korban perjuangan mendapatkan perawatan dan
pertolongan pertama. Di front Tungkal ini, kegiatan Palang Merah juga
dilakukan oleh kesatuan ALRI di sana, dan sebagai pimpinan Palang
Merahnya ialah Harnikus.
Dalam
pada itu, karena kurangnya tenaga dokter dan perawat, banyak juga
tenaga dukun yang ahli pengobatan tradisional membantu kegiatan Palang
Merah. Salah seorang dukun yang ahli pengobatan yang banyak berhasil
menolong korban-korban perjuangan ketika ini ialah H. Thaib Batara Jawa.
Kegiatan
Palang Merah mendapat bantuan sepenuhnya dari masyarakat. Biaya Palang
Merah, kebanyakan diperoleh dari sukarela rakyat sendiri. Oleh sebab
itu, dalam masa revolusi kemerdekaan, Palang Merah mempunyai tempat
tersendiri, dan tak dapat dipisahkan bahkan turut serta mengisi
perjuangan itu sendiri.
b. Dapur Umum
Di samping kegiatan Palang Merah, tak dapat pula kita mengabaikan peranan Dapur Umum pada masa perjuangan kemerdekaan.
Hampir
disemua front pertempuran dan gerilya di daerah Jambi terdapat dapur
umum, terutama pada masa Agresi Militer Belanda Kedua. Pada Masa Agresi
Militer Belanda Pertama, perlu dicatat peranan dapur umum di Kuala
Tungkal. Kiranya tak dapat kita lupakan kegiatan Ny. Mukti Nazaruddin,
Ny. Zainul Bahri, Ny. Maas, Ny. Naswin, Ny. Anang Mahri dalam
menyelenggarakan Dapur Umum. Mereka bukan hanya memasak, tetapi juga
turut mengumpulkan bahan makanan yang akan dimasak, serta memabawa ke
front.
Pada
Masa Agresi Militer Belanda Kedua, kegiatan dapur Umum sebenarnya
sudah merata ditiap desa dan kampung. Karena tiap desa dan kampung,
para Penghulu tetap sedia dalam menyediakan makanan bagi prajurit
pejuang tanah air. Para Penghulu mengkoordinasi pengumpulan bahan
makanan untuk Dapur Umum, dan setiap perajurit yang melintasi desa atau
kampung dapat dilayani oleh Penghulu untuk makanan dan minumannya.
Sudah
tentu di daerah front terdapat Dapur Umum pada masa Agresi Militer
Kedua ini. Di antara penyelenggra-penyelenggara Dapur Umum ketika ini
antara lain ialah H. Syamsuddin, Guru Pana, Guru Sanusi, Darusman, Datuk
Ahim, dan datuk Pasirah M. T. Fachruddin.
BAB II
PERJUANGAN DI DAERAH JAMBI
A. Masa Sebelum Aksi Militer Belanda I
Di daerah Jambi sebelum Belanda melancarkan aksi militernya, sudah
terasa adanya keadaan perang. Kapal-kapal perang Belanda giat sekali
mencegah lalu lintas pelayaran Jambi-Singapura. Dengan demikian di
daerah Jambi, terutama di perairan, banyak terjadi insiden dengan
Belanda. Sebelum
masa Agresi Militer Belanda Kesatu, yakni pada bulan April 1947,
Belanda melakukan penawanan terhadap Komisaris Polisi Zainal Abidin,
Inspektur Polisi Asmara, Letnan PT Saman Idris, Letnan Muda PT Arjai,
Letanan Muda PT Jenaib, Letnan Muda PT Nungcik, Alcaft, dan Hulubalang
Residen Long Jaffar.
Kemudian
penangkapan-penangkapan juga dilakukan Belanda di perairan Kuala
Betara, Kuala Tungkal. Di Kuala Betara, Kuala Tungkal ini ditangkap oleh
Belanda antara lain Kapten M. Thaib, Letnan Muda A. Saman, dan Sersan
Mayor Kadir Naning. Penangkapan ini diikuti pula dengan penangkapan
Kepala Pabean Haryono, anggota polisi Asmara Siagian, Pegawai-pegawai
Doane, dan Ketua Masyumi daerah Tungkal H. Daud.
B. Masa Aksi Militer Belanda I
Masa
aksi militer Belanda pertama di daerah Jambi boleh dikatakan tidak
terjadi kontak bersenjata secara frontal dengan pihak Belanda. Insiden
bersenjata pada Masa aksi militer Belanda pertama ini sering terjadi di
daerah banyulincir yaitu perbatasan daerah Jambi dan Palembang serta di
daerah pantai yaitu kabupaten Tanjung Jabung.
C. Masa Aksi Militer Belanda I dan Periode Perang Gerilya
Berbeda
dengan keadaan Masa Aksi Militer Belanda I, dimana daerah Jambi boleh
dikatakan tidak secara frontal mendapat serang militer dari Belanda,
maka pada Masa Aksi Militer Belanda II daerah Jambi mengalami secara
frontal serangan Militer Belanda. Pada ketika ini terjadilah kontak
bersenjata secara frontal dengan pihak Belanda, hampir di seluruh daerah
Jambi.
Di
Muara Tebo, setelah Bupati Kamil tiba, pada bulan januari 1949 itu
juga diadakanlah rapat kilat untuk mengatur pemerintahan. Di samping
itu rapat kilat tersebut membagi daerah pemerintahan atas tiga bagian:
Muara Tebo, Bangko, dan Kuala Tungkal. untuk di Kuala Tungkal, dengan
susunan pemerintahan:
- Wedana : Nurdin
- Mayor : Zainul Rifa’i
- Inspektur Polisi : Mahyuddin dll.
Kemudian
dengan ketetapan PDRI yang ditandatangani oleh Syafruddin
Prawiranegara, No. 3/UP/PDRI tanggal 20 Februari 1949, secara resmi
diangkatlah Bahsan sebagai residen daerah Jambi.
Setelah
kota Jambi diduduki oleh Belanda, maka pada tanggal 20 Januari 1949,
kota Kuala Tungkal mendapat giliran diduduki Belanda, melalui suatu
pertempuran yang sengit.
Salah
satu perjuangan rakyat Jambi melawan Belanda yang terhebat di daerah
Jambi adalah perjuangan rakyat Kuala Tungkal. Ketika terjadi agresi
militer II, terjadilah perlawanan dari 3000 orang Selempang Merah, dan
satu Batalyon Tentara Nasional Indonesia. Organisasi rakyat yang bernama
Selempang Merah ini, diketuai oleh H. Saman, sedangkan Komandan
Batalyon adalah Kapten Riva’i. Front yang terbesar di Kuala Tungkal,
yaitu Tungkal ilir, pertempuran yang terjadi di Tungkal ilir. Dipimpin
oleh Letnan Abdul Fattah. Dalam pertempuran ini, telah gugur 300 orang
Selempang Merah, dan di pihak Belanda tewas 40 orang tentara.
D. Perjuangan Masyarakat Pada Berbagai Bidang Kehidupan
1. Tata pemerintahan
Selanjutnya
diangkatlah Mr. Nasrun sebagai Gubernur Kepala Daerah Sumatera Tengah.
Ketika ini sebagai Residen Daerah Jambi ialah R. Inu Kertapati. Dalam
pada itu untuk melancarkan jalannya pemerintahan dilakukan pula
pembagian daerah keresidenan Jambi menjadi daerah-daerah kabupaten
yaitu:
a. Kabupaten Merangin, dengan ibukotanya Bangko, terdiri atas sembilan wilayah kewedanaan.
b. Kabupaten Batanghari, dengan ibukotanya Jambi terdiri atas 5 wilayah kewedanaan yaitu:
1) Kewedanaan Pengabuan, ibukotanya Kuala Tungkal.
2) Kewedanaan Sabak, ibukotanya Muara Sabak.
3) Kewedanaan Kumpeh, ibukotanya Arang-arang.
4) Kewedanaan Pijoan, ibukotanya Lubuk Rusa.
5) Kewedanaan Tembesi, ibukotanya Muara Tembesi.
Pada
awal Januari 1949 karena adanya serangan Agresi Militer Belanda, maka
pemerintahan yang dengan sendirinya telah menjadi pemerintah militer
dimiliterisasi secara resmi. Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera
dengan ketetapannya No. WKS/SI/Ist/038 tanggal 2 Januari 1949 menjadikan
daerah sumatera sebagai daerah militer.
Sebagai
daerah militer, maka daerah Jambi tadinya terdiri dari dua kabupaten
dengan 14 wilayah kewedanaan, dijadikan 3 daerah pemerintahan yaitu:
a. Muara Tebo, dipimpin oleh Residen Militer Bachsan.
b. Bangko, dipimpin oleh Bupati Militer M. Kamil.
c. Kuala Tungkal, dipimpin oleh Wedana Militer Nurdin.
E. Pelaksanaan Hasil KMB Di Daerah Jambi
Selanjutnya
penyerahan kota-kota kewedanaan yang ada di bawah kekuasaan Belanda
kepada RI dilakukan berturut-turut secara 5 tahap yaitu: untuk kewedanan
Tungkal, diserahkan oleh
pihak Belanda yang dilakukan oleh Wedana Ishak kepada Wedana Nurdin
dari pihak RI yang dilaksanakan pada hari kamis tanggal 15 Desember
1949.
Sejarah Perjuangan Rakyat Kuala Tungkal Tanjung Jabung Barat disadur melalui buku Napak Tilas Propinsi Jambi. H. Usman Meng.
Dalam
kurun waktu antara tahun 1856-1904, semangat perjuangan rakyat Jambi
bertambah menggelora di bawah pimpinan Sulthan Taha Saifuddin. Hubungan
dengan Inggris, Turki dan Amerika dipererat, perdagangan diperluas
seraya mengusahakan bantuan luar negeri. Tindakan Sulthan Taha tersebut
menimbulkan kegusaran di kalangan Belanda yang berpusat di Palembang,
sejak dibebaskannya Sulthan Ratu Ahmad Zainuddin.
Sulthan
Taha juga berhasil memperoleh senjata menukarnya dengan emas, hasil
hutan dan lain-lain dari Inggris dan Amerika. Senjata-senjata tersebut
masuk ke Jambi melalui Kuala Tungkal, Siak, Inderagiri, Bengkulu,
sedangkan mesiu dibuat sendiri.
Sulthan
Taha Saifuddin berdua dengan Temenggung Mangkunegara membentuk pasukan
yang bernama Pasukan Sabilillah. Pasukan ini mendapat latihan istimewa
dari para pelatih yang didatangkan dari Aceh.
Juga
Sulthan Taha memerintahkan kepada rakyatnya agar tiap-tiap rumah
supaya memiliki selaras bedil, dan mentimpan sebahagian bahan makanan
di hutan-hutan untuk keperluan perang.
Di dalam perjuangannya berperang melawan Belanda, Sulthan Taha Saifuddin membagi Front perjuangannya yaitu:
1. Front
Pertama dari Muara Tembesi sepanjang Sungai Batanghari sampai ke
Tanjung Samalidu (Sumbar), dipimpin langsung oleh Beliau. Sebagai
pembantunya diangkat Pangeran Diponegoro.
2. Front
Kedua dari Muara Tembesi sampai Sarolangun, Bangko, Kerinci, di bawah
pimpinan Temenggung Mangku Negara. Sebagai pembantunya diangkat
Panglima Pangeran Haji Umar bin Pangeran Haji Yasir dan Depati Parbo.
3. Front
Ketiga dari Muara Tembesi ke hilir, Kumpeh, Muara Sabak, dan Tungkal
di bawah pimpinan Raden Mattaher sebagai pembantunya diangkat Panglima
Raden Pamuk dan Panglima Raden Perang.
Pada tahun 1950 dan seterusnya (sampai Jambi menjadi propinsi sendiri) Jambi berkembang menjadi 3 daerah Tingkat II, yaitu:
1. Kabupaten Merangin yang terdiri dari kewedanaan-kewedanaan Sarolangun, Bangko, Muara Bungo dan Muara tebo.
2. Kabupaten
Batanghari yang terdiri dari kewedanaan Jambi Luara Kota, kewedanaan
Kuala Tungkal dan kewedanaan Muara Tembesi. Daerah kedua kabupaten ini
sama dengan kewedanaan Jambi Ulu (Barat) dan kewedanaan Jambi Ilir
(Timur).
3. Kota Besar kemudian menjadi Kota Praja, terakhir menjadi Kotamadya Jambi, terdiri dari Kewedanaan Jambi Kota.
Daerah Tingkat II ini terwujud sesuai dengan jiwa Undang-undang No. 22 Tahun 1948 dan Undang-undang No. 1 Tahun 1957.
Adapun komposisi lengkap nama-nama yang menjadi anggota BKRD adalah sebagai berikut:
1. Sembilan (sembilan) orang pilihan Kongres.
2. Anggota dari kewedanaan 16 orang: di antaranya KH. Daud dan Hasbullah Naud (keduanya dari Kuala Tungkal)
3. Anggota dari partai 10 orang.
4. Anggota bekas pejuang 1 orang.
Setelah kongres selesai, terjadi penambahan anggota BKRD 2 orang.
Di syahkan dalam Sidang Pleno ke-2 Badan Kongres Rakyat Jambi tanggal 15 Juli 1955.
Badan
Pleno BKRD terdiri dari Badan Harian serta ditambah dengan anggota
Badan Pleno sebanyak 29 orang. Anggota Badan Pleno tersebut antara lain:
Nasbullah Naud dan KH. Daud (Kuala Tungkal).
Pada
tanggal 18 Januari 1955 Kongres Rakyat Jambi ditutup dengan suatu
rapat umum yang bertempat di lapangan Tungkal (kini terminal dalam kota
Rawasari) dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan tafakkur
mengheningkan cipta yang dipimpin oleh saudara B. Rasiman.
Pada
hari senin tanggal 28 Mei 1956 dan pada hari selasa tanggal 29 Mei
1956 BKRD mengadakan Sidang Pleno yang kedua yang bertempat di Kuala
Tungkal. Sidang Pleno BKRD ini mendapat dukungan dari rakyat Kewedanaan
Tungkal bahwa mereka berjanji akan mendukung dengan sepenuh hati
perjuangan BKRD untuk mewujudkan Propinsi Jambi hingga menjadi
kenyataan.
Pada
sidang pleno di Kuala Tungkal ini diperoleh suatu keputusan bahwa
tiap-tiap marga akan memberi bantuan keuangan kepada BKRD setiap
bulannya sebagai iuran dari marga terhadap BKRD.
Badan
Kongres Rakyat Jambi pada tanggal 24-25 November 1956 kembali
mengadakan Sidang Plenonya di Muara Bungo. Pada Sidang Pleno BKRD ini,
maka diambil 11 keputusan, 4 di antaranya adalah:
1. Mengaharapkan
pada dewan-dewan perwakilan marga dalam keresidenan Jambi, DPRD
kabupaten Batanghari dan Merangin supaya memberikan sokongan dengan
mengeluarkan resolusi dan pernyataan-pernyataan.
2. Keuangan
otonomi kabupaten Batanghari, Merangin dan Kota Jambi sebahagian
disumbangkan pada Badan Kongres Rakyat Jambi untuk biaya perjuangan
menuntut status daerah Jambi.
3. Meperkuat putusan pleno II di Kuala Tungkal mengenai bantuan uang dari tiap-tiap marga.
4. Menyarankan kepada alim ulama dan rakyat di samping perjuangan zahir, mengadakan pula sembahyang hajat di tiap-tiap kampung.
Adapun
susunan nama-nama Badan Kongres Pemuda Jambi berjumlah 13 orang, 1 di
antaranya adalah Azwar dari kewedanaan Kuala Tungkal.
Sidang
Pleno Kongres Jambi yang diadakan pada tanggal 5 Januari 1957,
menetapkan kabupaten Batanghari sebanyak 20 orang anggota, di antaranya
adalah M. Thaib RH dan KH. M. Daud (keduanya dari Masyumi) (Kuala Tungkal).
DPDP (Dewan Pemerintahan Daerah Peralihan):
1. Dahlan sebagai Anggota/Wakil Ketua (Masyumi)
2. M. Thaib RH sebagai anggota (Masyumi)
3. Ky. H. Daud sebagai anggota (Masyumi)
4. M. Gozali Mahidin sebagai anggota (NU)
5. Nur Saga sebagai anggota (PNI)
Pada
tanggal 31 Juli 1957 diadakan rapat Dewan Radio, yang mana Dewan Radio
inilah yang mengelola Radio Jambi. Pelaksanaan rapat tersebut,
lengkapnya berdasarkan dokumen laporan sekretaris Dewan Radio adalah
sebagai berikut:
Pada
hari rabu tanggal 31 Juli 1957 jam 09.15 pagi, dengan mengambil tempat
di ruangan kantor Staf Gubernur Jambi telah diadakan rapat oleh
anggota-anggota Dewan Radio Jambi.
Hadir pada rapat tersebut antara lain adalah:
1. Sdr. H. F. Suraty, Kepala Japen Kabupaten Batanghari.
2. Sdr. Thaib RH, anggota dari DPDP Kabupaten Batanghari.
Panitia
Pelaksanan Pembentukan DPRDP Propinsi Jambi yang telah dilantik pada
tanggal 30 oktober 1957, pada bulan-bulan terakhir tahun 1957 telah
melaksanakan tugasnya untuk menetapkan jumlah kurisi yang diperdapat
oleh tiap-tiap partai yang akan duduk di DPRDP propinsi Jambi.
Berdasarkan jumlah suara yang diperoleh masing-masing partai pada Pemilu
1955.
Daerah
Jambi pada waktu itu berpenduduk kurang lebih 500.000 jiwa maka jumlah
anggota DPRD-nya ditetapkan sebanyak 30 anggota yang merupakan jumlah
minimal. Dua orang di antaranya adalah Hasbullah Naud, dari dan Murad
Alwi (dari Partai Masyumi).
Demikian
pula keadaannya dengan kabupaten Batanghari, DPRD kabupaten Batanghari
mengadakan Sidang Pleno, yang juga memutuskan untuk membagi kabupaten
Batanghari menjadi 2 (dua) bagian, yaitu kabupaten Batanghari dan
Tanjung Jabung, hari jadinya tanggal 10 Agustus 1965.
Pelaksanaan
keputusan di atas, tidak dapat dilaksanakan dengan cepat oleh karena
DPRD yang bersangkutan bubar pada bulan September 1960. dengan
dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 200 tanggal 17 Agustus 1960 yang
memerintahkan kepada Pimpinan Partai Masyumi supaya menyatakan Partai
Masyumi bubar, dengan batas waktu 30x24 jam.
Dengan
bubarnya Masyumi, maka seluruh anggota DPRD dari partai Masyumi baik
yang di Tingkat I maupun yang di Tingkat II di propinsi Jambi,
seluruhnya mengundurkan diri dari keanggotaan DPRD pada waktu itu.
Maka,
realisasi tersebut di atas tidak dapat dilaksanakan oleh DPRD yang
bersangkutan, baru dapat direalisasi sampai DPRDGR (Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Gotong Royong) terbentuk dan terealisasi pada tahun 1965.
MUSEUM NEGERI JAMBI
Pada
tahun 1947 belanda melakukan Agresi Militernya. Di Jambi, Agresi
Militer Pertama, dilanjutkan Agresi Militer Kedua pada akhir tahun 1948.
di dalam mempertahankan dan melindungi kemerdekaan Indonesia,
pejuang-pejuang di seluruh wilayah Indonesia angkat senjata melawan
pasukan Belanda. Di Jambi, pertempuran Agresi Militer Belanda
melibatkan seluruh rakyat yang kemudian dikenal dengan Perang rakyat
Jambi. Dalam mengahdapi pasukan Belanda, tentara dan lasykar
menggunakan taktik perang gerilya, seperti pembentukan Staf Pertempuran
Gerilya di kabupaten Muara Tebo dan Barisan Selempang Merah Di Kuala
Tungkal, dan lain-lain.
Dalam perang kemerdekaan,
senjata merupakan salah satu peralatan yang amat penting untuk
menaklukkan musuh. Senjata yang dipakai oleh tentara dan lasykar rakyat
Jambi selama pertempuran melawan Agresi Militer Belanda 1947-1949
adalah senajata tradisional, seperti keris, badik, kampilan, pedang dan
tombak yang umumnya dimiliki lasykar rakyat. Sedangkan persenjataan
modern seperti Pistol Vickers, Senapan Spring Field, senjata mesin
ringan MK, diperoleh dari berbagai usaha, yaitu rampasan dari musuh dan
hasil pembelian system barter hasil tanaman karet rakyat Jambi dengan
pedagang Singapura. Selain itu termasuk pula senjata modern yang unik
buatan rakyat Jambi sendiri yaitu senapan “kecepek”.
Bulan juni 1948 Bung Karno mengadakan kunjungan ke jambi. Pada saat kunjungan tersebut diadakan Defile Show Of Force Angkatan
Bersenjata Indonesia dengan persejataan lengkap. Beberapa bulan
sebelumhya, pada tanggal 4 Agustus 1947 Wakil Presiden Moh. Hatta
berkunjung dengan mengadakan Rapat Umum di lapangan Tugkal Straat
(sekarang Terminal Rawasari). Ternyata nama lapangan tersebut diambil
dari nama Kuala Tungkal.
Pada
bulan Agustus 1947 terjadilah pertempuran laut, yang mana ALRi
(Angkatan Laut Republik Indomesia) yang menggunakan kapal Royal Patrol
Type Dydens B sekitar lima Mil dari laut Kuala Pangkal Duri, Kuala
Betara dan Kuala Mendahara. Pertempuran ini terjadi karena pihak
Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati dan memasuki Perairan
Indonesia dengan melancarkan Serangan Militer ke daerah-daerah Republik
Indonesia.
Pada
tanggal 2 Februari 1949, perjuangan rakyat di Kuala Tungkal salah satu
perjuangan rakyat Jambi melawan Belanda yang terhebat di daerah Jambi
adalah perjuangan rakyat Kuala Tungkal yang terjadi ketika Agresi
Militer II. Front yang terbesar di Kuala Tungkal ini, yaitu Tungkal
Ilir.
Pada
tanggal 2 Februari 1949, perjuangan rakyat di Kuala Tungkal dengan
membentuk satu organisasi yang bernama ”Lasykar Selempang Merah” Front
Tungkal Area yang mempunyai anggota 3000 orang dikepalai oleh H. M.
Saman dan tokoh-tokoh lain seperti Abdussomad, H. Abdul Hamid, dll. Sedangkan dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) mempunyai kekuatan satu batalion dikepalai oleh Kapten Rivai.
Pada
tanggal 23 Februari 1949 pasukan TNI (Tentara Nasional Indonesia)
dengan dibantu oleh Lasykar Selempang Merah (lasykar ini menggunakan
kain berwarna merah dengan mengikatnya di kepala untuk melawan Belanda,
sambil menyebut nama Allah ”Ya Zal Jalâli wal Ikram” beserta
rakyat menyerbu pertahanan Belanda di Kuala Tungkal, dengan strategi dan
taktik mentap, dengan menggunakan senjata-senjata tradisional seperti kampilan,
parang bungkul, pedang kajang rungkup, pedang panjang, mandau Kuala,
keris Banjar, keris Beram Itam kanan, keris, kuningan, badik Bugis,
tombak dll, serta menggunakan Al-Qur'an Istambul yang merupakan perlengakapan religius yang digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan. Sehingga Belandapun dapat dipukul ke kapal perang mereka.
Tungkal
Ilir menjadi sasaran pertempuran (Front). Pimpinan petempuran di
Tungkal Ilir ini dipegang oleh Letnan Abdul Fatah (Abdul Fatah Leside),
selama pertempuran telah gugur di pihak Selempang Merah 300 orang dan
dari pihak musuh 40 orang. Rumah-rumah rakyat yang hancur sejumlah 400
buah rumah.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !