Pembangunan Gedung Baru MHI
Sesuai pandangan keagamaan yang tertanam di masyarakat,
maka pada masa awal kemerdekaan para orang tua murid umumnya menyekolahkan
anaknya sekaligus untuk 2 jenis pendidikan, yakni pagi masuk sekolah
rakyat/pemerintah dan sore masuk sekolah madrasah. Ini merupakan tindakan agar anak mereka
tidak hanya mempunyai pengetahuan umum saja, tetapi juga mempunyai pengetahuan
agama. Pandangan masyarakat yang berlandaskan ajaran agama ini kemudian selaras
dengan kurikulum pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Republik Indonesia dalam
kebijaksanaan pendidikan di Indonesia di mana pada setiap jenjang sekolah yang
diselenggarakan pemerintah, pendidikan agama diberikan sesuai kurikulum.
Demikian pula halnya di mana semua madrasah baik negeri maupun swasta telah diisi
pula dengan mata pelajaran pengetahuan umum.
Karena semakin menebalnya kepercayaan masyarakat terhadap
H. M. Daud Arif yang menambah bobot tersendiri bagi MHI, ternyata
semakin hari setelah masa peperangan, animo masyarakat untuk menyekolahkan
anak-anaknya di MHI semakin meningkat, karena masyarakat semakin sadar betapa
pentingnya pendidikan Islam tersbut. Hal tersebut menyebabkan lokal yang ada
tidak mencukupi lagi untuk menampung murid-murid baru. Maka pada tahun 1952,
dibangunlah gedung
madrasah
baru di komplek
Masjid Raya yang berdampingan dengan gedung Masyumi.[1]
Maka pada tahun 1956, MHI mulai berkembang,
ternyata banyak masyarakat yang menyekolahkan anaknya, khususnya bagi
murid-murid perempuan sehingga lokal yang adapun tidak mencukupi lagi untuk menampung
murid-murid yang ada. Ditambah lagi dengan kondisi gedung yang sudah berumur 20
tahun yang hampir usang dimakan usia yang kemudian gedung lama yang tanahnya
diwakafkan oleh Datuk Penghulu H. Bahruddin dibongkar dengan cara
mengganti/membangun gedung yang baru yang berada di sebelah lahan yang lama
yang diwakafkan oleh Datuk Penghulu H. Ahmad Penghulu berbentuk leter L (el)
dengan fasilitas 6 lokal (3 lokal untuk putra dan 3 lokal untuk putri) yang mampu menampung murid-murid baru
(sekarang Madrasah Ibtidaiyah). Adapun bahan bangunan gedung MHI yang baru ini
adalah dari material sisa dari bangunan lama yang masih layak pakai, seperti
tongkat, tiang, seng, dinding, jendela dan lain-lain.[2]
Kemudian otomatis gedung pada lahan yang pertama tidak ada lagi yang sekarang
dijadikan perkuburan Datuk H. Bahruddin dan keluarga.
Keterangan photo: Gambar bersama pelajar MHI puteri di gedung yang baru di rehab. (1956) Pelajar Puteri MHI bersama dewan guruDari kiri ke kanan: H. Asmuni (Pasirah), A. Azizi, Sarnubi Insi, H. Hamzah, KH. M. Daud Arif, KH. Abdurrahman Hakim dan KH. Gumri Abdullah.
Keterangan photo: Gambar bersama pelajar MHI puteri di gedung yang baru di rehab. (1956) Pelajar Puteri MHI bersama dewan guruDari kiri ke kanan: H. Asmuni (Pasirah), A. Azizi, Sarnubi Insi, H. Hamzah, KH. M. Daud Arif, KH. Abdurrahman Hakim dan KH. Gumri Abdullah.
[1]KH. Abdul Halim Kasim, SH. Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah
Kuala Tungkal, (YPHI Kuala Tungkal, 1997), hlm. 9.
[2]Hj. Afifah H. Daud. Wawancara, (Senin, 3 Agustus 2010). dan KH. M. Arsyad. Dokumentasi Fhoto. MA
PHI. Al-Anwarussati’ah, (MA PHI Kuala Tungkal, 2003), hlm. 66-67.
Bahri, Syamsul, Perguruan Hidayatul Islamiyah (PHI): Modernisasi Pendidikan Islam di Tanah Tungkal, (2012), hlm. 105-111 dan 138-139.
Bahri, Syamsul, Perguruan Hidayatul Islamiyah (PHI): Modernisasi Pendidikan Islam di Tanah Tungkal, (2012), hlm. 105-111 dan 138-139.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !