PENANGKAPAN BELANDA TERHADAP PATROLI ALRI DI LAUT TUNGKAL (DALAM SEBUAH DOKUMEN BELANDA, TANGGAL 10-04-1947 [jam 06.00] s/d 17-04-1947 [jam 06.00])
------------
Selanjutnya akan diceritakan mengenai masa Agersi Militer Belanda I di daerah Tanjung Jabung tahun 1947-1948 di mana beberapa aktivitas yang dilakukan masyarakat Tanjung Jabung pada saat Agresi Belanda yang akan merusak kembali tatanan (sendi) kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia yang telah merdeka, serta persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Pemerintahan untuk setidaknya mempersiapkan pertahanan dan melakukan perlawanan walaupun hal itu tentunya tidaklah sebanding dengan kekuatan yang dimiliki oleh musuh.
Dalam masa Persetujuan Linggajati yang ditandatangani oleh Pemerintah RI dan Pemerintah Belanda pada tanggal 2 Maret 1947, Pemerintah Belanda menyatakan pengakuannya terhadap kedaulatan Pemerintah RI atas wilayah Jawa, Madura dan Sumatra.
Di Sumatra, sebelum Belanda melancarkan Agresi kolonialnya di darat, di laut sudah menjadi kenyataan adanya keadaan perang. Marine Belanda giat sekali mencegah adanya lalu-lintas RI di laut. Khususnya pelayaran Jambi-Singapura menjadi sasaran Belanda. Dengan demikian di sekitar Jambi, terutama di perairan, telah banyak terjadi insiden dengan Belanda, dari sebelum Linggajati sampai PKRI ke-I. Jadi, kebingalan Belanda nampak sekali pada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya atas Perjanjian Linggajati di Bidang Genjatan Senjata (Weapens Stil Stand) itu. Situasi di lepas pantai antara Kuala Tungkal dan Jambi sangat rawan, di mana kapal perangnya berlabuh tidak jauh dari kuala Batang Hari, pintu gerbang setiap kapal atau motor dagang dari/ke Jambi.
Sebelum masa Agresi Militer Pertama, yakni pada tanggal 7 April 1947, pada saat melintasi perairan antara Kuala Niur (Kampung Laut) dan Kuala Tungkal. Berdasarkan laporan-laporan yang diterima, Angkatan Laut (KM) Belanda sering mengadakan patroli di daerah perairan Kuala Tungkal serta menangkap kapal-kapal yang lewat di perairan tersebut yang berarti ini adalah pelanggaran Belanda terhadap Persetujuan Linggajati. Mendengar laporan tersebut, kemudian Kepala Kepolisian Keresidenan Jambi Komisaris Pembantu Polisi Zainal Abidin (Hoofd der Politie van Djambi) beserta rombongan “Singa Laut” (Zeeleeuw) ALRI (De Indonesische Zeemacht) yang dianggap musuh oleh Belanda bersama staf masing-masing melakukan patroli dengan menggunakan 3 motorboat mendatangi kapal tersebut, ternyata kapal perang Belanda tersebut memang sedang berada di laut. Mereka siap untuk mengejar dan menyerang kapal Belanda tersebut, namun itu tidak dilakukan. Kedatangan mereka adalah untuk menyampaikan protes dengan maksud memberi tahu dan memperingatkan kepada Pimpinan Angkatan Laut Belanda yang berada di kapal tersebut karena telah memasuki perairan RI di sekitar Kuala Tungkal dan Kampung Laut dan apa yang mereka lakukan adalah satu pelanggaran territorial, baik dari segi hukum laut maupun dari segi perjanjian peletakan senjata menurut Linggajati. Tujuan mereka mendatangi kapal Belanda tersebut adalah agar KM Belanda meninggalkan perairan Tanjung Jabung ini.
Pimpinan Angkatan Laut Belanda menyatakan bahwa mereka berada di Perairan Internasional dan menyatakan bahwa masalah tersebut supaya dibicarakan nanti dengan Pimpinan Tentara Kerajaan Belanda di Palembang. Kemudian tanpa berbasa-basi dan memperpanjang persoalan, tentara Belanda yang berada di kapal itu langsung menahan dan menawan para pejabat kepolisian dan beberapa orang staf pengawalan bersama sekitar 27 Polisi bersenjata (pejuang) lengkap lainnya. Adapun perwira-perwira yang berada dalam motorboat tersebut di antaranya:
1. Komisaris Zainal Abidin (Kepala Kepolisian).
2. AIP. Kls. II Asmara Siagian (Polisi).
3. Letda (M.) Saman Idris (Komandan PT Sub Detasemen Muara Sabak).
4. Letda PT Arjai (Hoofd der Militaire Politie Sub Detasemen Muara Sabak).
5. Letda Jenaib [Ilyas Jenaib] (PT).
6. Letda Ahmad Nungcik Alcaff (PT).
7. Long (Waklung) Jakfar (Laskar; Hulubalang Residen).
8. Mahyuddin Diah (Syahbandar Kuala Tungkal).
9. Komandan Sutarjo (Polisi).
10. Arifin Maelan (Agen Polisi).
11. Serma Laisa.
12. IP. Marpi (Polisi), dan lain-lain.
Mereka ditawan dengan tuduhan ekstremis dan provokator yang mengancam keamanan patroli Angkatan Laut Belanda. Kemudian tuduhan tersebut dibantah oleh Letda Arjai dengan menyatakan bahwa mereka adalah tentara resmi RI (TRI), sebagai bukti dikemukakan bahwa mereka memakai pakaian seragam TNI lengkap dengan Tanda Pangkat dan “Surat Perintah” Jalan dari kesatuannya. Bantahan tersebut tidak diacuhkan oleh Angkatan laut Belanda, kemudian Letda Arjai bersama teman-temannya tetap ditahan. Rombongan dari ibukota Jambi ini ditawan/ditahan dan dibawa dengan kapal perang ‘Ceram’ dan baru tiba pada tanggal 11 April 1947 di Boom Baru Palembang sehingga menjadi urusan PBB yang memaksa Belanda membebaskan orang-orang itu kembali. Di Palembang, semua tawanan diajukan ke pengadilan dan dicecah banyak pertanyaan. Sebagai juru bicara di pengadilan di Palembang adalah Kepala Kepolisian Zainal Abidin, ia mengatakan “Bahwa dia hanya ingin menanyakan, apa maksud dari kapal Belanda dan bahwa mereka tidak ada rencana akan melakukan penyerangan (bermusuhan). Selain itu, semua mengeluh bahwa Belanda tidak memberikan cukup kesempatan untuk menjelaskan kehadirannya di laut dan bahwa mereka menderita termasuk juga seorang tua (yang berumur 59 tahun) tidak diberi makan selama tiga hari. Mereka (tentara Belanda) memang benar, menginginkan kami harus menderita”. Mengenai penangkapan patroli ALRI Pangkalan Jambi ini ada terekam pada sebuah buku Officiële Bescheiden Betreffende De Nederlands-Indonesische Betrekkingen 1945-1950 (Achtste [8] Deel, 21 Maart-20 Mei 1947) dalam Politiek verslag Sumatra van regeringsadviseur voor politieke zaken op Sumatra (Van de Velde) over maart en april 1947 yang berbunyi:
“Een andere plechtigheid, welke werd bijgewoond door Oetoyo, was de installatie van de Alri, de republ. zeemacht van Djambi. In een der toespraken bij die gelegenheid gehouden, werd de Alri de „zeeleeuw” genoemd, die gereed is een vijand aan te vallen en te verjagen. Op 7 April werden ter hoogte van de Koeala Nior, nabij Koeala Toengkal, drie motorbooten met o.a. aan boord Zainal Abidin, hoofd der politie van Djambi, het hoofd der militaire politie, de havenmeester en 27 gewapende politiemannen aangehouden door de „Ceram” en naar Palembang opgebracht, waar zij op 11 April aankwamen. Bij ondervraging te Palembang, verklaarde Zainal Abidin, dat zij slechts wilden informeeren, wat de bedoeling van het Nederlandsche schip was en dat zij niets vijandigs van plan waren. Verder beklaagde hij zich, dat hem aan boord van de „Ceram” niet behoorlijk de gelegenheid werd gegeven zijn aanwezigheid op zee te verklaren en dat zij 3 dagen geen eten hadden gekregen: ,,Het doet ons leed dit als oude man (59 jaar), die de Nederlanders goed gezind is, te moeten ondervinden”.
Kemudian dengan bantuan Gubernur Muda Sumatra Selatan Dr. M. Isa semua tawanan tersebut akhirnya di vonis bebas setelah adanya perundingan Pemerintah RI dengan Belanda di Palembang dan baru dilepaskan menjelang clash ke-II. Pada saat perjalanan dari tempat tahanan ke ruangan pengadilan selalu mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat Palembang di jalan yang dilalui dengan mengacungkan tangan sebagai tanda simpati terhadap perjuangan mereka.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !