Mengingatkan kembali Perdjoeangan Rakjat Toengkal Tempo Doeloe.
PERTEMPURAN DI PANTAI TUNGKAL TANGGAL 28 APRIL 1948 (DARI BERBAGAI SUMBER ARSIP BELANDA)
------------
C. Pertempuran Parit III [2]
Dalam suasana pecahnya Perjanjian Renville antara RI dan Belanda, TNI tetap tidak megindahkan adanya „staakt ’t vuren”, (gencatan senjata), apalagi Belanda yang secara sepihak melakukan berbagai macam tindakan yang merugikan RI. Banyak kapal RP Belanda yang ditempatkan di berbagai perairan di kepulauan Indonesia seperti yang sekarang berada di pantai timur Sumatera, beberapa buah kapal RP yang ditempatkan khsususnya di perairan Jambi.
Selanjutnya, dua minggu kemudian, terjadilah pula suatu peristiwa yang lebih hebat lagi dan sangat terkenal dari pada sebelumnya dan tercatat dalam laporan pers Anthony van Kampen di berbagai koran Belanda. Ketika itu KM Belanda menyerang pertahanan TNI di pelabuhan Bom Kuala Tungkal. KM Belanda menyerang dengan kapal RP 133 yang mereka gunakan dalam mematahkan perlawanan tentara ALRI pangkalan Jambi sebelumnya.
Sedikit diceritakan mengenai kru kapal RP 133. Para kru kapal yang masih muda, mereka pemberani, meskipun penuh resiko, prihatinan dan rasa takut. Komandan Dankelman dan bahwa 9 (sembilan) orang sesama mereka yang berada di kapal sudah menganggap saling bersaudara seperti satu keluarga yang keluar bersama-sama dan bersama-sama di rumah. Meskipun di panas teriknya matahari di garis di khatulistiwa, para pemuda Belanda itu berusaha dan bekerja keras meskipun dengan kapal RP 133 kecil. Mereka mencoba sekuat tenaga dan pikiran untuk melindungi apa yang Belanda dimiliki sebelumnya. Mereka sangat bergembira dan bersuka cita karena adaorang hebat yang berada di belakang mereka, yaitu Admiraal (Laksamana) Pinke.
Sebelum terjadinya pertempuran ini, pada suatu malam, Hr. Ms. RP 133 sedang berada tepat di dekat Kuala (muara sungai) Tungkal. Terjadi di malam hari dan jelas tembakan itu terfokus terhadap pada kapal sekitar 1 jam. Namun kru kapal RP 133 tidak memberikan jawaban (balasan) apapun. Pada jam 03.30 malam itu juga terdengar lagi bunyi-bunyi tembakan yang keras. Sehingga membuat seorang pria (kru) harus kadang-kadang tidur dan komandan yang melihat kejadian itu mengatakan tidak ada alasan untuk menjawab tantangan itu.
Keesokan harinya pada jam 07.30, ketika sinar pertama matahari memancar di ufuk timur, di atas hutan, ketika kabut pagi masih menyelimuti pandangan, tiba-tiba meletus tembakan mitraliur tiga kali dan kali ini cukup keras. Ada batas kesabaran dan kali ini Hr. Ms. RP 133 segera membalas dengan menembakkan semburan (tembakan) Lewis-mitraliur untuk mengintensifkan pantai dari tembakan.
Pada saat ini, RP 133 menghadap laut dengan pandangan mata penuh tertuju ke pantai dengan penuh semangat. Dilihat sepertinya “Mereka pergi ... terlihat terburu-buru ...... pahlawan ......!”. Namun, satu menit kemudian RP 133 berbalik arah dan kemudian dengan asap mengepul kembali ke kecepatan penuh, tepat di berada pantai. Sementara itu ada bahaya, terdengar tembakan Lewis mitraliur. Sambil duduk kru kapal RP 133; Guus Weimar (Bolle), Henk Kragten dan Wim Vink yang penuh persaudaraan berdampingan dengan senjata 37 mm memberikan hadiah tembakan kepada orang-orang di pantai dari sisi sebelah kanan sambil pergi, karena jika itu tidak dilakukan akan membahayakan (membinasakan) orang di kapal. Bunyi tembakan mitraliur satu per satu dapat dibungkam dengan tembakan balasan, begitu juga tembakan dari sniper (tembakan penembak jitu) dapat pula dibubarkan. Setelah beberapa waktu kemudian, RP 133 dapat menguasai situasi. Motorboat sambil menuju ke darat menyerang bangunan pemancar radio (radio-zendgebouw) di pelabuhan. Pada saat itu, hanya berpikir adalah kemenangan karena ada yang tewas di darat, tembakan terus dilakukan mengikuti perintah yang diberikan oleh Komandan Dankelman. Dengan posisi yang lebih tinggi di atas kapal mereka dari TNI yang berada di pelabuhan memudahkan KM Belanda menembakkan peluru-peluru dari senjata mereka yang berada di kapal.
Dari pertempuran di Parit III pertama, rupanya membawa pihak Belanda menjadi kepanasan dan penasaran yang mana sebelumnya telah terjadi pertempuran dan kontak senjata dengan ALRI Jambi, TNI dan dari para teroris yang berbahaya. Setelah beberapa kali pertempuran dan kontak senjata, kemudian dilanjutkan dengan pertempuran Parit III jilid kedua, maka pada tanggal 28 April 1948 ketika berada di pantai dekat Tungkal Labu, mejadikan mereka kembali memasuki sungai Tungkal untuk menjajal kekuatan TNI dengan sebuah kapal jenis RP yang dimulai jam 06.00-08.00 pagi dengan menembaki (menghujani) pertahanan dan Asrama TNI AD dan Asrama TNI AL, beberapa rumah penduduk, pertokoan pasar di jalan Kemakmuran, menembaki Motor Bunga kepunyaan A. Lathif, menembaki tiang telegraf (hingga patah) dan lainnya dengan meriam (canon) dan mortir serta senjata otomatis lainnya dari daerah pantai Parit III hingga Tangga Raja Ulu Parit I. Hal ini sebenarnya telah diduga, pasti mereka tetap akan melakukan penyerangan kembali dengan yang lebih hebat lagi, setidak-tidaknya mereka mencoba untuk melakukan demonstrasi kekuatan atau ‘show of force’ (kata orang sekarang) untuk memperlihatkan kehebatan mereka.
Oleh karena setiap kapal perang Belanda yang hendak memasuki sungai Tungkal, dari jauh suara gemuruh mesinnya sudah kedengaran, banyak kesempatan rakyat untuk mencari perlindungan atau segera menyingkir keluar Kuala Tungkal dan TNI segera siap menempati formasinya masing-masing untuk mengirim peluru “selamat datang” (welkom) kepada serdadu-serdadu Belanda itu. Di tengah sungai setentang ujung dermaga pelabuhan ia slow berhenti. Kemudian ia merapat dengan maksud akan manurunkan sang saka merah putih yang berkibar di ujung dermaga itu dan akan menaikkan bendera tiga warnanya, merah putih biru. Dengan didahului tembakan meriam dan mortir kesasaran TNI, beberapa orang serdadunya sambil berebutan menarik tali untuk menurunkan bendera merah putih ke bawah. Tetapi karena peluru-peluru senapan mesin TNI beraksi menghujaninya pula, ternyata mereka berhamburan kembali ke kapal, ‘rupanya mereka berebutan ingin hidup lama juga’.
Dentuman meriam, ternyata suara mortir menghantam asrama ALRI dan markas Kompi, Telkom dan sebuah menara antenanya patah yang kemudian dengan sikap dan tangkas beberapa orang pemuda memindahkan tiang antena lainnya ke tempat aman dan instalasi-instalasi vital lainnya. Suara mitraliur brengun dan karabin yang non stop berbalasan, menimbulkan perasaan tanggung jawab di hati:
“Inilah perang, sebab belum pernah sehebat ini dialami selama persengketaan dengan Belanda, di mana sebelumnya hanya mendengar dari siaran kejadian-kejadian di sekitar Sumatra Utara, Palembang, Jawa dan sebagainya”.
Memang tembakan-tembakan TNI tidaklah seramai/sehebat tentara Belanda yang royal peluru. Sebab bagi TNI, peluru adalah benda yang sangat mahal dan hanya didapat dengan menyerempet-nyerempet bahaya yang membuat diri jadi berhemat. Setelah dilihat peluru AAC kita yang ditembak di dinding kapal perang Belanda itu tidak mempan dan nampaknya bagaikan “kaca yang jatuh ke batu saja” yang mana ketika itu Serma Abdullah Sani memimpin pasukan pendukung AAC yang berada di Kuala Parit III dan sebagai pendampingnya adalah Prajurit II Arbain dan Prajurit I Juhri. Kemudian sasaran dialihkan ke arah manusianya yang nampak di kapal itu.
Seorang prajurit kita yang bertahan di pangkal dermaga pelabuhan, maju ke depan lagi ke ujung dermaga untuk lebih mendekati jarak dengan musuh, geraknya ini dapat dilihat oleh lawan, hingga di antara sekian banyak peluru yang dihamburkan oleh senapan mesin Belanda itu salah satunya menembus badannya dan gugurlah ia kepangkuan Ibu pertiwi yang dicintainya. Turut serta tentara cadangan termasuk Laskar Hizbullah melakukan perlawanan yang gigih sehingga kapal perang Belanda mundur ke laut lepas.
Kedua prajurit yang berada di samping Abdullah Sani luka-luka tersebut terkena pecahan mortir, Prajurit I Juhri terkena 14 mata luka, Prajurit II Arbain 6 mata luka, sedangkan Serma Abdullah Sani sendiri terkena 1 mata luka terkena kaki sedikit namun tidak begitu dalam (parah). Korban di pihak TNI pada hari ini adalah Prajurit II/Pratu Basri (TNI AL) yang gugur seketika dan Prajurit II/Pratu Abdul Kadir Syawal (TNI AD) meninggal dua hari setelah pertempuran, selain jiwa juga korban materi.
Ini adalah penembakan dari Sungai Tungkal. RP 133 memiliki beberapa target, namun sebagian besar tembakan yang ditargetkan meleset. Begitu juga TNI yang berada di darat, meskipun tembakan banyak yang meleset dan dianggap penembak buruk, tetapi ada juga beberapa penembak yang baik.
Setelah kejadian itu, Serma Abdullah Sani dipindahkan dari jabatan Komandan Brigade I Seksi II Kompi II ke Staf KODM Kuala Tungkal dengan dikeluarkan “Surat Perintah” No. 06/1b tanggal 27 Desember 1948.
Karena tidak sesuainya tindakan Belanda yang telah melanggar Perjanjian Linggajati, selanjutnya diadakanlah perundingan antara pihak RI dan Belanda dalam sebuah perjanjian yang bernama Perjanjian Renville. Perundingan antara kedua delegasi dimulai pada tanggal 2 Desember 1947 di atas kapal Amerika Serikat yang bernama USS Renville yang bertempat di Pelabuhan Tanjung Priok yang kemudian perjanjian tersebut ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 yang bernama ‘Perjanjian Renville’. Dalam pada itu, ketegangan antar RI dengan pihak Belanda makin hari makin memuncak. Namun sebagaimana dimaklumi bahwa setiap bangsa atau negara di dunia ini tidaklah dapat lagi melampiaskan kehendaknya sendiri-sendiri secara tidak adil, oleh karena sudah terikat dengan ketentuan-ketentuan PBB. Sehubungan dengan peristiwa Indonesia-Belanda ini, Badan Dunia tersebut mendesak Pemerintah Belanda supaya persengketaan dengan Indonesia dapat diselesaikan di Meja Perundingan secara damai.
Letnan Muda Klas II Dankelman memperoleh Bronze Salib Kedua atas tindakannya tersebut pada tanggal 12 Mei 1948, terutama atas pertarungannya dengan kapal patroli ALRI Nori I pada tanggal 12 Maret 1948, sebagaimana dijelaskan (digambarkan) secara rinci oleh Anthony Van Kampen dalam koran kami dalam edisi 6 Oktober 1949.
Dengan kemenangan gemilang pada 2 kali pertempuran ini (pertempuran tanggal 12 Maret 1948 dan 28 April 1948), maka Komandan Dankelman menerima Surat Peghargaan yang diterimanya dari Menteri Kelautan (Minister van Marine) yang membenarkan pemberian penghargaan Bronze Salib Kedua (Tweede Bronzen Kruis) ini, berbunyi sebagai berikut:
“Dankelman telah memberanikan dirinya dengan tindakan berani pada periode 1 Januari 1948 hingga Mei 1948 sebagai Komandan “RP 133” di pantai timur Sumatera yang penuh teladan yang selalu melakukan pemantauan di perairaian melawan teroris dengan beberapa kontak senjata, juga sering mengalami penembakan dengan mitraliur (senapan mesin) dari pantai, khususnya peristiwa pada tanggal 12 Maret 1948 di mana pertempuran ini sangat dekat dengan kapal patroli Alri “Nori I” (motorboat) di dekat muara Sungai Tungkal yang menggunakan senjata mitraliur dengan 11 orang; 5 awak (kru) dan 6 orang tentara ALRI penuh kekuatan, banyak didapatkan barang rampasan, di mana musuh mengalami kerugian besar, dan pada tanggal 28 April 1948 di dekat Tungkal Labu, ketika ia sedang berada di pantai, setelah sebelumnya berulang kali tembak-menembak, menerima yang berbahaya dari teroris, antara lain senapan mesin 12,7 mm, setelah waktu jangka panjang, yang mana dalam hal ini baku tembak dapat membungkam (menghabiskan) lawan”.
Begitu juga dengan Pelaut Kls I. J. P. M. Driessen, dengan tindakan yang luar biasa dalam laga ini, juga memperoleh penghargaan Bronze Salib Kedua. Menurut pernyataan itu “bahwa tindakannya yang sangat berani pada tanggal 12 Maret 1948 di RP. 133, sebuah kapal yang digunakan untuk pengawasan polisionil di perairan, melawan teroris di pantai timur Sumatera yang secara khusus bertindak sebagai seorang pemberani dengan cara yang tak kenal takut, khususnya, yang ditugaskan sebagai penembak di RP 133. Selama pertempuran sengit dengan kapal patroli ALRI “Nori I” di dekat muara sungai Tungkal, berdiri dengan tenang dan benar ketika memegang senjata tanpa perlindungan apapun sewaktu menembakkan senjata ke target.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !