MIGRASI URANG BANJAR KE TANAH TUNGKAL
(Sebuah catatan awal sementara dari berbagai sumber)
MATA PENCAHARIAN
Migrasi orang Banjar – secara umum – memiliki
pola yang konservatif, artinya tetap bertani (subsistens) dan melakukan pekerjaan serupa seperti
di kampung halamannya. Mata pencarian utama orang Banjar di Sumatera Utara,
Riau, Jambi dan Malaysia, sebagian bertani padi, pemilik perkebunan karet dan
kelapa dalam ukuran kecil, sedikit di antaranya juga menjadi buruh.[1] Namun menurut penulis jika membaca
dari berbagai sumber, bahwa pekerjaan orang Banjar bukanlah hanya terbatas pada
skala kecil saja, melainkan sudah berskala besar dan meluas, banyak di antara
mereka yang memiliki persawahan dan perkebunan yang berukuran luas, sebagaimana
yang masih dilihat hingga saat ini.
Pemadaman
orang-orang Banjar ke Kabupaten Tanjung Jabung Barat khususnya Kuala Tungkal
dan sekitarnya (Tungkal Ilir) yang membuka lahan perkebunan dan persawahan, itu
terjadi sebelum tahun 1900 M. Orang Banjar datang secara bertahap-tahap dan
bergelombang mulai dari sekitar Kuala Tungkal kemudian ke arah ke sebalah Barat
dan Timur, Utara dan Selatan. Perlu diketahui bahwa daerah pantai Kabupaten
Tanjung Jabung pada tahun tersebut masih kosong penghuninya, sejak dari daerah
rawa dan gambut sampai 50 km dari pantai.[2] Sedangkan
daerah yang berdataran tinggi berstruktur tanah liat yang paling dekat adalah
Pematang Lumut, daerah tersebut berjarak sekitar 30 km dari Kuala Tungkal.[3]
Setelah
terbukanya Kuala Tungkal, banyak masyarakat yang kemudian membuka hutan untuk
dijadikan untuk lahan pertanian dan perkebunan kelapa. Mereka melakukannya
dengan menggunakan sistem drainase, sistem ini telah dipelajari
dan dilakukan oleh orang-orang Banjar di Banua (Kalimantan Selatan) dari sejak
lama yang kemudian digunakan pula ketika membuat perkebunan kelapa. Sistem
drainase ini dilakukan dengan cara menggali tanah untuk pengairan. Dengan
menggunakan sistem seperti itu, maka tanah rawa yang ada di Kuala Tungkal ini
digali. Penggalian ini dilakukan sebagai sarana untuk mempermudah dalam
berkebun yang dilakukan secara terus-menerus.
Sebagaimana
yang terjadi di sepanjang Sungai Labu, banyak pembangunan (perubahan) parit
yang dilakukan di perkebunan kelapa, sebagaimana survei yang dilakukan oleh Topografische
Dienst (Dinas Topografi) atau Dinas Pelayanan Survey di Jambi.[4] Orang Banjar datang
membuka daerah Tungkal Ilir dengan menggali parit-parit dan ditanami dengan kelapa,
karet dan sebagian lagi untuk persawahan. Karena itulah pada tahun belasan
sampai terakhir pemerintahan Belanda, orang Banjar yang menguasai perkebunan di
daerah 7 kecamatan di Tanjab Barat.[5] Perkebunan kelapa banyak juga terdapat di
Kampung Baru dan
Muara Sabak
yang terletak 3
dan 15
km dari
muara Batang Hari.[6] Parit
adalah sungai kecil yang digali oleh orang untuk mempermudah akses komunikasi
dan transportasi dalam kehidupan sehari-hari yang salurannya mengalir dari/ke
sungai. Sedangkan yang lebih kecil lagi dari parit disebut dengan parit anak
atau anak parit, yaitu saluran yang air mengalir dari parit. Sedangkan sungai
adalah air yang mengalir dan muaranya ke laut.
Pada masa permualaan, mereka dianggap
sebagai kelompok yang terbaik dalam hal membuka hutan dan menggali saluran.
Karl J Pelzer, Profesor dari Yale University yang banyak
berjasa dalam menguraikan proses ditempatinya daerah-daerah baru di Jawa dan Sumatera,
melaporkan bahwa pada tahun 1917, ketika akan mengembangkan daerah Sumatera
Timur, Pemerintah Kolonial mendatangkan pertani-petani yang sebagian besar
berasal dari Banjar yang telah memiliki pengalaman bekerja di
perkebunan-perkebunan. Orang Banjar yang banyak bekerja di Sumatera itu,
kebanyakan kaum pria berasal dari Hulu Sungai, Kandangan, Barabai dan Tanjung.[7]
Hal ini juga sama halnya yang terjadi di Kuala Tungkal Tanjung Jabung
sebagaimana yang ditunjukkan pada statistik pada tahun 1930 tersebut.
Pada awal abad ke 20, sudah banyak imigran
yang berdatangan khususnya orang-orang Banjar asal Kalimantan Selatan di daerah
dataran rendah/pantai Jambi (Kuala Tungkal dan sekitarnya). Sehingga tidak
mengherankan bahwa pertumbuhan
penduduk di daerah ini paling cepat dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya
di Jambi, karena selain penduduknya banyak dari kalangan orang-orang Banjar dan juga yang lainnya.
Adapun kenapa mereka memilih Kuala Tungkal sebagai tempat penghidupan baru, hal
itu juga dilakukan karena termotivasi secara eksklusif terhadap adanya peluang untuk mendapatkan
lahan baru yang dapat digunakan sebagai perkebunan untuk menanam tumbuhan yang
memiliki nilai ekonomis tinggi, terutama karet dan kelapa.[8]
Karena jika terjadi fluktuasi atau ketidakstabilan (ketidaktetapan atau guncangan naik-turunnya) harga karet dan masyarakat hanya mengandalkan sumber
daya (budidaya) yang ada saja, maka itu sangat membahayakan ekonomi seperti
terjadi pada dekade pertama abad ke 20 di Jambi.[9]
Selain dari kampung halaman sendiri, orang Banjar ada juga
yang datang Malaya dan Deli dan kemudian mendiami daerah pantai Tanjung Jabung
Barat. Dibagunnya kota Kuala Tungkal oleh Belanda adalah untuk memudahkan
menampung hasil pertanian dan kemudian diekspor ke luar negeri, hasil pertanian
tersebut diperoleh dari kebun kelapa dan karet yang dibangun oleh orang Banjar
di sepanjang bahagian ilir sungai Pegabuan dan sungai Betara.[10]
Sebagaimana diketahui, bahwa etnis
Banjar[11]
dikenal sebagai pelaut dan nelayan yang tangguh dan handal. Hingga sekarangpun mata pencaharian orang-orang Banjar
di Tanjung Jabung masih didominasi pekerjaan dalam beberapa bidang tersebut
yang mana biasanya yang
melakukan pekerjaan tersebut adalah masyarakat yang berada di pedesaan, jarang
sekali di antara mereka yang bekerja sebagai nelayan atau tidak sebanyak
petani.
Ada beberapa mata pencaharian orang-orang
Banjar di Kabupaten Tanjung Jabung dalam menjalankan
penghidupannya, pekerjaan tesebut sama halnya dengan pekerjaan yang dilakukan
oleh orang-orang Banjar di Banua (Kalimantan Selatan) dan di perantauan dari
dahulu hingga sekarang. Di antaranya pertanian (sawah), perkebunan (kelapa) dan
pengolahan hasil hutan.
A.
Pertanian (Agriculture)
Sebagaimana
diketahui, bahwa makanan pokok mayoritas masyarakat kita adalah beras. Beras
adalah bahan makanan pokok kita dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu tentunya
tidak bisa pula dipisahkan dari kehidupan para perantau khususnya orang-orang
Banjar. Dalam membuka lahan (land clearing), tentunya orang-orang
Banjar memikirkan kebutuhan untuk penghidupan agar tetap dapat bertahan hidup
dalam perantauan. Dalam expedisi Sumatera Tengah (Midden-Sumatra Expeditie) di daerah Jambi
yang dilakukan orang Belanda tanggal 20-31 Oktober 1877 yang menyusuri sungai
Tungkal, kemudian juga sungai Lagan (terletak antara sungai Tungkal dan Sungai
Batanghari) yang ukurannya paling lebar hingga 16 meter, hampir di sepanjang
tepi sungai tersebut ditanami padi oleh penduduk Muara Sabak. Juga di Sungai
Betara ditemukan beberapa dusun, di sepanjang sungai ini sangat sedikit, daerah yang jarang berpenghuni.[12]
Penduduk daerah Jambi, pada tahun 1910-an lebih suka membudidaya tanaman padi di tanah kering yang
disebut ladang (di daerah dataran tinggi/perbukitan di bagian hulu
Jambi) atau budaya padi di sawah basah
(di daerah hilir Jambi). Sejak beberapa tahun terakhir ada upaya pemerintah untuk mengatasi kegagalan dalm
bercocok tanam, yaitu dengan banyak membuat bendungan atau menggali drainase (pintu
air) di atas tanah rawa atau lumpur (daerah tergenang) ke arah daratan yang
(agak sedikit) lebih tinggi yang mana airnya mengalir dari sungai-sungai besar
yang muaranya langsung ke laut sehingga menghasilkan banyak sawah yang baik.[13]
Pada bulan Juni dan Juli 1916, Dr. J. Van Breda de
Haan melakukan kunjungan ke daerah rendah (pantai Tanjung Jabung) Jambi dan
banyak memperoleh (dan mencatat) informasi mengenai budidaya padi di daerah
pesisir yang mana penduduknya begitu akrab dengan produk beras lokal dengan
berbagai varietas hingga bagaimana cara memproduksi padi menjadi beras. Pada kesempatan ini ia menjelaskan atau memberikan laporan
(gambaran) singkat bagaimana cara budidaya padi tersebut. Banyak keanehan yang
dijumpai dalam budidaya (tanaman nutrisi) ini terkait erat dengan kondisi lahan
yang tersedia (ada). Daerah bagian hilir (paling timur) Jambi terdiri dari dua
bagian yang berbentuk delta sungai Batang Hari dan sungai Tungkal yang airnya
mengalir ke/dan berbatasan (berhadapan) dengan laut lepas.[14]
Angin Musim
Barat menyebabkan Indonesia mengalami musim hujan. Sehubungan dengan kuatnya curah hujan di bulan
Desember, Januari dan Februari sehingga mengakibatkan terjadinya banjir musiman
(banjir rob) di sungai-sungai yang (lebih) besar yang terjadi pada awal bulan
Januari lalu. Pada bulan Februari tingkat (debet) air semakin terus meninggi
hingga naik ke daratan.[15] Air meninggi (pasang) berlangsung selama
tiga minggu dan selebihnya akan surut. Banjir yang terjadi pada bulan Maret dan
terkadang sampai bulan April waktu pasangnya tidak terlalu lama. Pada bulan Mei hingga Oktober musim angin muson-Z timur lebih dominan, sementara pada
bulan-bulan yang lain musim angin N. Barat yang
terjadi.[16]
Secara umum, beras yang dikonsumsi oleh
penduduk asli Jambi cukup signifikan. Dalam keadaan biasa, masyarakat dapat makan beras tiga kali sehari, namun ketika jumlah beras dalam perut Jambi
menghilang, mungkin saja di tempat lain akan cukup hanya untuk dua kali makan
saja dalam sehari. Konsumsi umbi-umbian berkurang beberpa tahun terakhir. Untuk
mengatasi kekurangan beras tersebut, masyarakat juga mengkonsumsi jagung (mais)
yang terjadi beberapa tahun terakhir. Budidaya ubi kayu (cassave) banyak juga dilakukan karena lebih mudah dari pada
mencari gadung (Diosoorea spec.) dan umbi-umbian lainnya di hutan.[17] Sekarang memang belum praktek
standar memanen padi, penanaman makanan yang cocok untuk
makanan (lauk-pauk). Selanjutnya yang mengherankan,
adalah kebiasaan menginjak-injak atau
menggrinding (menggiling) padi dengan tangan menggunakan mesin (handmolentjes) untuk memisahkan antara gabah (kulit padi) dan beras putih. Walaupun
hanya makan dengan lauk lombok dan ikan. Untungnya, kekayaan ikan sungai dan
rawa-rawa sangat besar, sehingga tidak terlalu sulit untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.[18]
Setelah masyarakat selesai panen, biasanya mereka menghabiskan
waktu untuk mencari hasil hutan (seperti rotan, jelutung dan lain-lain). Karena
ketika ini para-karet (Hevea
brasiliensis atau
para-rubber) belum begitu terkenal di daerah Jambi.[19]
Sekarang masyarakat banyak ditopang oleh pendapatan
dari para-karetnya, tidak
perlu khawatir untuk penghidupan selanjutnya, cukup menjadi sumber pendapatan
dalam tahun-tahun normal[20]
seperti saat ini, maka tidak perlu mengeluarkan biaya besar lagi untuk membeli
“beras laut” (beras impor).[21] Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa
usaha bidang pertanian khususnya beras (padi) memiliki peranan penting dalam
rangka penyediaan
kebutuhan penduduk. Kita sekarang dapat melihat
bagaimana daerah-daerah yang telah memperaktekkan budidaya
padi.[22]
Ada
beberapa hama dan penyakit yang terjadi pada tanaman padi, beberapa di
antaranya sangat berbahaya (piangan) karena dapat merusaknya. Menurut
keterangan Nezara viridula L. Voorts, penyakit
yang menyerupai padiboerder (Schoenobius bipunctifer) dan walang sangit (Leptocorisa
acuata, Thun.). Kerusakan yang diakibatkan tikus yang biasanya relatif
sedikit, kini semakin banyak, juga di beberapa daerah, ditemukan ada kesulitan
mengusir burung dan begitu celeng (babi).[23]
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi beberapa kali
kegagalan dalam pertanian (budidaya) padi, sebagian besar terjadi di daerah yang lebih rendah (pantai) dari Djambi. Secara umum, bahwa pengaruh hama relatif
kecil (sedikit). Tapi hal yang terbesar yang
mempengaruhi kegagalan panen adalah karena kondisi cuaca yang
tidak normal atau cuaca yang moderat (ekstrim) dalam beberapa tahun terakhir, yaitu banjir besar yang
menenggelamkan banyak sawah penduduk. Oleh karena itu keteraturan dalam menanam
padi sangat penting dan hal tersebut telah berhasil diterapkan di beberapa
tempat.[24]
Sebagai wilayah percobaan, [Kuala] Tungkal (Jambi) merupakan daerah
yang paling sesuai (tepat). Suatu daerah yang memiliki persawahan yang luas
yang dibangun (ditemukan) oleh orang-orang Banjar yang kemudian diikuti oleh orang-orang Jawa.
Diharapkan dengan hal tersebut dapat memberikan kontribusi dalam rangka
memberikan solusi atas persoalan yang sekarang terjadi.[25]
Selain itu juga orang-orang Banjar
bersawah (menanam padi), sebagaimana yang terjadi pada tahun 1929, dikarenakan
hasil penyadapan karet menurun, maka banyak orang-orang Banjar yang semula
mengabaikan untuk penanaman padi, maka mulai memberikan perhatian dengan
beralih kepada membudidayakan beras (bersawah) dengan membuat sistem irigasi
sehingga dapat menguntungkan.[26]
Pada dekade ketiga abad 20, orang-orang Banjar sudah semakin berhasil dengan
membudidayakan padi sawah pasang-surut dan sudah menghasilkan produksi yang
memuaskan. Hal itu selalu menjadi perhatian oleh pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian memasuki tahun 1930-an biasanya mulai
(musim) menanam padi pada bulan Oktober dan panen pada bulan Februari-Mei.
Kegiatan untuk menamam hingga memanen membutuhkan waktu
berbulan-bulan. Karena persoalan penurunan harga karet, maka orang-orang mulai menghabiskan waktu mereka
dengan beralih untuk membudidayakan padi (bersawah) dan mengabaikan untuk
menyadap karet.[27]
Orang
Banjar datang membuka daerah Tungkal Ilir dengan menggali parit-parit dan ditanami
dengan kelapa, karet dan sebagian lagi untuk persawahan. Makanya pada tahun
belasan sampai terakhir pemerintahan Belanda, orang Banjar yang menguasai
perkebunan di daerah 7 kecamatan di Tanjab Barat.[28]
Sebelum tahun
1942, tepatnya sebelum kedatangan tentara Jepang, Kuala Tungkal merupakan
daerah yang sangat kaya dengan pertanian/sawahnya. Sebuah kenyataan hidup dan
fakta bahwa kehidupan di daerah Jambi mengalami kekurangan beras. Tatkala
daerah Jambi mengalami kelangkaan beras, maka penduduk mendistribusikannya ke
daerah kekurangan beras tersebut. Bahkan di daerah Jambi sendiri seperti
Kerinci (pantai Barat Sumatera) dan Kuala
Tungkal (pesisir pantai Jambi) berhasil mengimpor beras sekitar 20.000
ton/tahun. Sehingga dua daerah ini disebut dengan daerah “pengekspor beras
dalam daerah Jambi”.[29]
Dalam
masa-masa perjuangan pasca kemerdekaan Indonesia hingga Agresi Militer Belanda
kedua (1945-1949), sebagaimana dalam sebuah laporan, bahwa daerah Jambi yang
berada di Sumatera adalah daerah yang sangat penting
bagi Pemerintah Republik, khususnya Kuala Tungkal dan sekitarnya (Tungkal Ilir).
Pada tahun 1947, situasi pangan yang terlihat sudah berubah, tidak buruk
seperti beberapa waktu yang lalu seperti yang terjadi pada zaman Jepang. Uuntuk
diketahui bahwa di daerah Jambi ada 3 jenis beras untuk dijual, yaitu beras
jenis Westkust-rijst
dari Kerinci
(Sumatera Barat) dengan harga f.
150,- Jap. Crt., jenis Saigon-rijst dari Saigon (Vietnam) dengan harga f. 170,- Jap. Crt dan jenis
Kuala
Tungkal-rijst dari Kuala Tungkal (Jambi)[30]
dengan harga f. 125,- Jap. Crt. Namun hal ini menunjukkan bahwa setidaknya
ada juga impor beras dari luar negeri dan pantai Barat Sumatera. Namun keadaan yang kurang baik
adalah pada masa ini daerah Jambi muncul (terkontaminasi) epidemi cacar (pokkenepidemie)
di daerah
Jambi ini.[31]
Pada masa
pendudukan Belanda di daerah Jambi tahun 1948, banyak daerah yang kekurangan
beras karena gagal panen.
Sebagaimana dilaporkan oleh “Aneta”[32] koresponden dari
Palembang mengetahui bahwa situasi kesulitan pangan di daerah Djambi, sehingga
harga beras meningkat menjadi 7 atau 8 gulden per kilo. Pemimpin delegasi dari
Jambi, Khalil, mengikuti konferensi di Sumatera Selatan, dengan penjelasannya
ia mengatakan bahwa penyebabnya adalah kegagalan panen karena banjir mencapai
80 persen. Pemerintah akan mengirimkan 100 ton beras. Dengan kenaikan harga
beras tersebut, mengakibatkan akan terjadinya penyelundupan dari Palembang ke
Jambi.[33]
Sebagaimana
diketahui bahwa daerah Tanjung Jabung ini pertaniannya multiculture, yaitu tertumpah tenaga dan pikiran
kepada beberapa hasil pertanian, seperti kelapa (kopra), padi (beras) dan
lainnya. Di bidang makanan seperti padi dan lainnya, tidak hanya cukup untuk
memenuhi kehidupan sehari-hari, bahkan dapat mensuplay daerah lain di Jambi.
Namun setelah
Jepang datang menjajah pada masa awal kemerdekaan banyak pemadam yang datang
dari Jawa dan Sulawesi. Dari dekade pertama abad 20 sampai
berakhirnya pemerintahan Belanda urang Banjar dipamadaman Tanjung Jabung dapat
merasa kan kesejahteraan dari hasil kebun Kelapa dan Pahumaannya. Pada zaman
Jepang kebun kelapa banyak yang rusak dan banyak pula berpindah ketangan etnis
lain, sehingga urang Banjar beralih Propinsi kepada usaha yang lainnya, sekarang
urang Banjar dan keturunannya merata dalam semua bidang perekonomian.[34]
Data tersebut
menggambarkan bahwa orang-orang Banjar bagitu akrab dengan dunia agraris, yaitu
pertanian atau persawahan (menanam padi atau bahuma; Banjar) dan juga
perkebunan (menanam kelapa). Kemudian puluhan tahun lamanya
orang-orang Banjar hidup bertani dan berkebun,
mereka dapat memperoleh hasil yang
menggembirakan dan memuaskan. Dengan kata lain, di daerah Jambi, para petani
dari kalangan Banjar ini yang memperkenalkan bagaimana bertani, berkebun dan
mengelola hasil hutan yang baik di daerah rawa pasang surut ini.
Dari awal
abad ke 20 hingga tahun 1998 terjadinya pemekaran kabupaten Tanjung Jabung
menjadi 2 kabupaten (kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur),
dalam perjalanannya Tungkal Ilir adalah merupakan lumbung beras dan pensuplay
besar beras dalam provinsi Jambi. Namun setelah beberapa tahun kemudian hal
tersebut tidak terjadi lagi.
B.
Perkebunan (Plantation)
1.
Perkebunan Kelapa LIHAT JAMBI 187 KELAPA
Kelapa adalah salah satu tanaman yang
paling banyak ditanam di daerah-daerah rendah (rawa/pantai) di
Indonesia. Semua yang ada pada tanaman kelapa itu dapat digunakan, mulai dari
batang (jalan/jembatan), daun (ketupat/obor), urat-urat daun,[35] peluru kosong,[36] tunas muda[37] dan lain-lain. Kelapa yang diparut[38] atau ampas kelapa (endosperm atau
kiemwit) dapat dicampur (dijadikan) makanan (lauk) paling enak yang dimakan
dengan nasi, begitu juga dapat menghasilkan minyak kelapa dengan cara
memerasnya dan untuk bahan mentega. Karena tingginya permintaan pasar dunia
untuk lemak (sabun dan margarin), hal itu memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk bekerja sebagai petani kelapa. Selain itu juga, dapat
dijadikan kopra dengan cara (membanam) membakar di bawah panas api yang
kemudian dikeringkan (dijemur) di bawah panas matahari dan siap dipasarkan. Banyak masyarakat yang
meninggalkan pekerjaan mereka dan beralih menjadi petani untuk membudidayakan
kelapa seperti di daerah pantai Bengkulu, Palembang, Jambi dan lain-lain.[39]
Pada bulan November 1912 penduduk di kawasan [Kuala] Tungkal membeli 7.000 bibit
kelapa yang didatangkan dari Singkep dan Indragiri untuk penanaman baru.[40] Ketika itu pula orang-orang Banjar (orang-orang
dari Kalimantan Selatan) yang menempati daerah (muara) sungai
Tungkal telah membuat perkebunan kelapa
yang luas, dengan cara menggali rawa pesisir pasang surut/lahan basah (dengan cara membuat drainase) atau irigasi,
juga bendungan dan pintu air yang dapat berubah menjadi
sawah subur sehingga menghasilkan peningkatan yang signifikan dan produksi
hasil kelapa secara bertahap dapat diekspor.[41]
Pada tahun 1913, budidaya kelapa di Sumatera semakin berkembang, seperti di
Lampung, (Kalianda), Tapanuli (Natal dan Batung Natalen di Pulau Nias), Aceh,
Jambi (terutama di Tembesi dan Tungkal), Belitung, Riau. Begitu juga di daerah
lainnya, seperti Kalimantan Barat (sepanjang daerah pesisir), Kalimantan
Selatan dan Timur dan Sulawesi.[42]
Pada dekade ketiga abad ke 20, di muara (kuala) sungai Tungkal dan di sepanjang hilir
sungai semakin bertambah banyak pemukiman, terutama
koloni orang-orang
Banjar. Budidaya dan eksploitasi kelapa semakin meningkat pesat
dan secara besar-besaran, namun ekspor kopra pada tahun 1924 hanya berjumlah
sekitar (sebesar) 700
ton.[43] Di daerah pesisir
Jambi terdapat budaya
kelapa; diperkirakan pada tahun 1927 pohon yang berbuah sekitar ±60.000 pohon, sementara ±486.000 pohon belum berbuah.[44]
Sepanjang Sungai Labu pada tahun 1938, banyak
pembangunan (perubahan) parit di dilakukan perkebunan kelapa,
sebagaimana survei yang dilakukan oleh Topografische Dienst (pelayanan
survey) di Jambi.[45] Perkebunan kelapa
banyak juga terdapat di Kampung Baru dan Muara Sabak yang terletak 3 dan 15 km dari muara
Batanghari.[46]
Di Jambi hampir setiap desa memiliki kebun (pohon) kelapa yang cukup. Di dataran tinggi sekitar
600-1000 meter dari atas permukaan laut kurang menguntungkan karena buahnya
tidak sebagus buah yang dihasilkan dari perkebunan yang berada di pesisir
(pantai) Jambi. Kemudian Tungkal Ilir (Kuala Tungkal sebagai daearah utama) merupakan daerah
dengan perekonomian yang sangat penting, begitupula di Muara Sabak orang-orang Banjar banyak juga yang bertanam kelapa. Pada tahun 1934
daerah Tungkal Ilir luas lahan yang ditanami sekitar 5.000 hektar, dengan banyak pohon kelapa yang ditanam diperkirakan sekitar 900.000 batang, sedangkan sekitar 250.000 dapat berproduksi dengan baik.[47]
Sebagian besar pohon kelapa yang ditanam tersebut
di perkebunan antara Kaula Tungkal ke arah Betara dan Beramhitam (sekitar ¾%
merupakan lahan perkebunan kelapa). Sedangkan perkebunan kelapa di onderdistrik
(kecamatan) Muara Sabak pada tahun 1934 diperkirakan mencapai 150.000 pokok, di
mana sekitar 10 persennya berbuah. Pokok kelapa sudah ditanam pada pertengahan tahun 1933 yang luasnya
mencapai sekitar 1000 ha (hektar). Adapun bibit yang ditanam umumnya pada
berusia 1-2 tahun. Tidak ada waktu tertentu untuk menanam kelapa, jika ada
keininginan untuk menanam, maka akan ditanam atu sebaliknya. Jarak antara
batang pokok kelapa adalah 7 sampai 8 m2. Akan tetapi, karena bibit
buah disusun secara horizontal yang ditanam di tanah berlumpur, apalagi
pohon-pohon yang telah telah berproduksi berusia setelah lima tahun,
sebagiannya telah terdistorsi. Untuk memanen kelapa tidak ada waktu tertentu,
biasanya dilakukan dalam waktu setiap dua bulan.[48] Banyak kebun-kebun yang tidak terawat yang selalu dibiarkan sehingga penuh
dengan gulma (tanaman liar) termasuk tumbuhan liar piyai (pakis). Terkadang hanya sesekali saja
dibersihkan oleh yang mempunyai kebun, itupun dilakukan jika produksinya menguntungkan. Ada beberapa kali hama dan penyakit kelapa yang
terlihat. Orang-(pemangku) orang yang berkepentingan melakukan pemeliharaan
(pengontrolan) dengan cara membakar limbah buah dan daun kering di antara
pohon-pohon. Meskipun metode kontrol ini tidak sepenuhnya berhasil, pemilik
kebun tersebut tidak dapat ditekankan dengan mengatakan bahwa penanaman dalam
rangka pemeliharaan yang lebih baik akan benar-benar menghapus gulma di dan
sekitar pangkal pohon yang dapat mengurangi kemungkinan bahaya binatang yang
akan merusak pohon. Dengan cara tersebut, mungkin akan dapat meningkatkan hasil
produksi. Hasilnya sangat bervariasi (hasil yang berbeda-beda), ada pohon yang
menghasilkan 200 buah, ada juga yang hanya 6o buah saja pertahunnya.[49]
Kemudian kelapa tersebut dibuat kopra. Hal yang pertama
kali dilakukan untuk membuat kopra adalah, mengumpulkannya buah dengan menggunakan ambung (alat mengangkut kelapa) pada satu tempat. Setelah kelapa-kelapa dikumpulkan, maka terlebih dahulu membuang
(melepaskan) sabut kelapa dengan cara menguyaknya (mengoyaknya atau menungkihnya). Kemudian setelah itu,
memecahkan kelapa dan menguitnya (mencongkel untuk memisahkan isi dan batok kelapa)
yang kemudian dibanam (dibakar) di atas lantai nibung[50] yang telah disediakan di langkau (pondok tempat untuk menyelai kelapa) tersebut
selama 7-8 jam di atas panas api yang berasal dari sabut kelapa kering yang
dibakar (dengan kulit kelapa sebagai bahan
bakar). Kemudian daging buah yang dibanam semi-basah itu dijemur. Seringkali juga dilakukan pengeringan lebih lanjut dengan
menggunakan tempat api. Kualitas kopra terbaik adalah yang dikeringkan di bawah sinar
matahari, warnanya agak kehijauan, sehingga harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga kopra kering yang dibanam (dinakar) di atas api.[51] Dalam 100 kg (1 kwintal atau 1 pikul) kopra dibutuhkan sekitar 350 buah yang. Pada 1933 biaya, jika mengupah untuk memetik per 100
buah dibutuhkan biaya f. 0.15; untuk transportasi ke tempat operasi (pondok) per 100 buah dibutuhkan biaya f. 0,15; untuk membuka (memecah) buah dan mencungkil daging
buah per 100 buah seharga f. 0,25. Harga biaya 100 kg kopra adalah f. 6.95.[52] Pengiriman berlangsung di pelabuhan Kuala Tungkal, baik dalam bentuk kopra
atau kelapa dalam saja. Produk ini tergantung pada harga pasar, jika harga
pasar tinggi, maka harganya akan mahal, begitu pula sebaliknya. Pada tahun 1932, misalnya, ada permintaan kelapa
yang besar dari Siam. Secara umum, bagaimanapun, kopra secara eksklusif dikespor luar
negeri. Perusahaan pengiriman sepenuhnya dimiliki oleh Cina, berorientasi ke Singapura
sebagai daerah ekspor.[53] Harga rata-rata 100 kg kopra pada tahun 1931 adalah f. 9.- dan pada tahun 1932 adalah f. 6.-, pada tahun 1933 itu jatuh menjadi
f. 4.-, sedangkan pada tahun 1934 harga menurun
drastis antara f. 2:50-f. 3).[54] Ekspor kopra ini penting dan
meningkat. Ekspor buah kelapa yang sudah dikupas juga terjadi ke Singapura, sedangkan indeks, yang diekspor ke ibukota Jambi atau Palembang, masih dalam pengupasan.[55]
Kelapa dari Kuala Tungkal di Jambi tidak terlalu populer; satu di sini memberikan preferensi
seperti halnya Kampung Laut dan Teluk Majelis (onderdistrik Moearasabak) karena kandungan lemaknya yang lebih besar.[56] Meski harganya lebih stabil dibandingkan dengan karet,[57] namun, ada perbedaan besar. Pada paruh pertama tahun 1932 harga kelapa dalam berfluktuasi antara f. 2,- dan f. 0,90,- per 100 buah.[58]
Transportasi ke Singapura oleh KPM (masyarakat ini memberikan muka pada pihak dilakukan) jumlah untuk kopra seharga f. 0,40 per pikul dan indeks f. 5 per 1000 lembar.[59] Bukan dengan KPM, ekspor kelapa dalam dari Muara Sabak hanya berkisar kira-kira 3500 Kw per bulan.[60] Hanya sebagian kecil yang dikirim ke Jambi dan
Palembang, karena biayanya lebih mahal, yaitu sekitar f. 1.20,- per 100 buah.[61] Berikut Kopra tidak siap here (11, 168).
Tahun
|
Kelapa
(per 1000 biji)
|
Kopra
(per 1000 Kg)
|
Minyak Kelapa (Kg)
|
Nilai
(per 1000 guldens)
|
1925
|
321
|
859
|
227
|
|
1926
|
545
|
1.163
|
270
|
|
1927
|
1.219
|
1.385
|
265
|
|
1928
|
1.050
|
2.169
|
463
|
|
1929
|
1.759
|
2.853
|
518
|
|
1930
|
3.340
|
3.415
|
–
|
|
1931
|
–
|
4.398
|
439.557[63]
|
557
|
1932
|
2.769
|
7.397
|
301.030
|
648
|
1933
|
2.297
|
10.970
|
276.315
|
835
|
1934
|
–
|
11.614
|
823.035
|
455
|
1935
|
–[64]
|
14.328
|
652.364
|
801
|
Dewan pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan pengarahan
mengenai pembudidayaan kelapa, namun hal yang sangat sulit bagi
masyarakat umum adalah untuk menjaga kebun.[65] Menurut laporan,
hingga tahun 1937 jumlah penduduk Jambi hampir 150.000
jiwa yang mana populasi pendatang terbanyak
yaitu dari kalangan Banjar, Bugis, Bawean (Boyan) dan Jawa,[66]
sedangkan orang-orang Banjar banyak juga yang terdapat di daerah Riau.[67] Dengan
demikian, menjadikan Kuala Tungkal dan Muara Sabak yang
lokasinya dekat dengan pantai, banyak ditanami kelapa oleh orang-orang Banjar
yang mana rupanya perkebunan kelapa tersebut dapat berkembang dengan baik.[68]
Residen Jambi Ruychaver mengatakan, bahwa hasil (perkebunan) karet adalah
faktor utama (terbesar) yang mempengaruhi perkonomian masyarakat (wilayah)
Jambi adalah. Karena ±90% penduduknya adalah berkebun (membudidayakan) karet,
sedangkan sisanya ±90% adalah perkebunan kelapa (kopra)[69] di
[Kuala] Tungkal (wilayah utara Jambi) yang merupaka mata pencaharian utama
penduduk di daerah ini.[70]
Di daerah Sumatera, banyak pelabuhan-pelabuhan
ekspor dan impor. Sedangkan di wilayah Jambi sendiri, ada tiga pelabuhan, yaitu
pelabuhan Kuala Tungkal (di muara sungai Pengabuan) termasuk pelabuhan utama
(penting) kopra di Jambi, pelabuhan Muara Sabak (di Muara sungai Batang Hari)
dan pelabuhan kota Jambi (di muara/sungai Batang Hari).[71]
Pada tahun hingga tahun 1938 ini dari pelabuhan Kuala Tungkal mendapatkan penghasilan
kotor (bruto) sebesar f. 2.000.000 dari hasil ekspor kopra. Sementara itu ada
enam perahu yang tertunda selama 30 jam untuk memuat kopra. Di Kuala Tungkal
pada saat ini terjadi “eksplorasi” besar-besaran dan masyarkat akan terus
melakukan ekspansi budidaya kopra ini. Ada sedikit hama (penyakit) yang
menghinggapi tanaman kelapa, sehingga wajar mempengaruhi kualitas kopra.[72]
Pasca kemerdekaan tahun 1950-an, ekspor
kopra dan resmi dan tidak resmi (illegal melalui smokkel) melalu pelabuhan
Kuala Tungkal semakin meningkat. Hal ini dikarenakan tidak ada lagi
penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Polisi Negara Republik Indonesia gencar-gencarmya
memberantas penyelundupan di Kuala Tungkal yang sekarang sudah mulai berkurang.
Sebelumnya dapat dilaporkan bahwa ekspor kopra dari daerah ini ke Singapura
pada tahun 1952 telah meningkat sebesar 25% (persen).[73] Sebagaimana
dilaporkan oleh Aneta, pada tahun 1953, Kepala Kepolisian Kabupaten Batanghari,
Jambi, Komisaris Polisi Mahjudin [Harahap] melakukan inspeksi di kawasan
perairan Jambi, bahwa penyelundupan dari Kuala Tungkal, Muara Sabak dan Nipah
Panjang ke Singapura sekarang mulai berkurang, hal itu akibat dari harga karet.
Ia berusaha semaksimal mungkin untuk memerangi penyelundupan yang sebelumnya
merajalela, akan tetapi personel dan sarana transportasi masih kurang, maka ia
akan melakukan perbaikan dan mutasi pada stafnya, katanya.[74]
Pelabuhan Kuala Tungkal adalah termasuk salah satu
Pelabuhan Internasional ketika ini, karena di pelabuhan ini adalah tempat
ekspor-impor barang ke luar negeri, seperti ke Singapura. Sebagaimana
dilaporkan oleh Antara, bahwa pada tahun 1959 ada sekitar 21.000 ton
kopra yang menunggu pengiriman di pelabuhan Indonesia. pengiriman, menurut kantor
berita Antara melaporkan. Karena Perusahaan
pelayaran tidak bisa mengangkut, maka kopra tersebut disimpan di pelabuhan Pontianak, Kuala Tungkal, Teluk
Betung, [Tanjung] Priok, Manado dan
Makassar.[75]
2.
Perkebunan Karet
Selanjutnya mengenai perkebunan karet rakyat di Jambi
sebagaimana yang diceritakan, budidaya karet mulai berkembang sejak intervensi
Residen pertama Jambi O.L. Helfrich (1906-1908) yang mengadakan bibit karet
sebanyak 30 ribu batang dan kemudian membagikannya kepada penduduk pada tahun
1907. Dengan bibit yang baik diharapkan hasil sadapan juga baik, sehingga dapat
digunakan membayar pajak kepada Pemerintah. Oleh adanya kemudahan memperoleh
bibit, lahan-lahan yang dapat ditanami banyak tersedia, penanaman yang hampir
tidak mengeluarkan biaya dan usaha tanaman karet ini tidak mengganggu kegiatan
ber, maka tanaman karet mulai meluas, bukan hanya di sepanjang
aliran sungai yang berdekatan dengan pemukiman, tapi sampai merambah ke kawasan
hutan di sekitar dusun atau desa. Masa awal perkembangan perkebunan karret
rakyat meliputi kurun waktu 1906-1920 dan berkembang pesat antara 1920-1928,
karena didorong oleh kenaikan harga karet dan semakin meningkatnya permintaan
bahan baku karet untuk beberapa produksi industri.[76]
Sejak beberapa tahun
terakhir (pada tahun 1912), terjadi permintaan yang besar untuk
budidaya karet (Hevea Brasiliensis) dan peningkatan rotan sego (Calamus Calsius). Bahwa tanah
untuk budidaya produk yang tersebut
cocok untuk perkebunan yang ada
di daerah rendah pasang surut.[77]
No
|
Tahun
|
Ekspor (Kg)
|
1
|
1912
|
10.000=
|
2
|
1913
|
41.000=
|
3
|
1914
|
122.000=
|
4
|
1915
|
497.792[79]
|
5
|
1916
|
440.873=
|
Dari
tabel di atas, dapat dilihat bahwa perhitungan harga karet rata-rata 1 kg
seharga ฦ.1 (per pound) yang berarti perolehan pendapatan penduduk asli (inlander)
pada tahun 1915 sebesar ±ฦ.500.000.
Hal
tersebut berdampak positif pada kesejahteraan penduduk asli walaupun
meningkatnya daya beli (daya saing) yang secara secara tidak langsung meskipun
harga konsumsi (beras asing) cukup tinggi atau jauh meningkat, hal tersebut
tidak perlu dikhawatirkan.
Pada tahun 1924-1926, terjadi penurunan ekspor
karet. Hingga seterusnya mengalami penurunan yang cukup segnifikan. Akan tetapi
pemerintah Belanda tetap mendapatkan keuntungan sebesar f.16.000.000,- (16 juta
gulden). Sehingga di daerah Jambi banyak dibangun jalan dan jembatan.[80]
Ekspor karet beberapa tahun terakhir mengalami
penurunan, sebelumnya pada tahun 1928 ekspor karet mencapai 32.782.452 Kg namun pada tahun 1929 turun menjadi 31.437.397 Kg. Begitu juga ekspor ikan kering dan ikan asin
ke Singapura yang semula pada tahun 1928 hanya 6.001 Kg kemudian pada tahun 1929 meningkat menjadi 68.474 Kg.[81] Di onderafdeeling Jambi,
banyak orang-orang Banjar yang
menetap di marga Tungkal Ilir sebagai menyadap karet.[82]
Daerah Hulu Sungai[83] cukup memberikan perhatian, di mana
kemakmuran penduduk di daerah ini cukup tinggi dengan hasil budidaya karetnya.
Daerah Jambi di Sumatera, jika dibandingkan dengan Hulu Sungai di
Kalimantan, walaupun budidaya karet hanya sebagian kecil atau tidak sebesar
daerah Jambi, namun dapat menjadikan Hulu Sungai menjadi daerah makmur, selain
itu juga merupakan daerah berlimpahan beras.[84]
3.
Perkebunan Pisang
Selain bersawah, orang-orang Banjar juga memenuhi kebutuhan hidup mereka
dengan bertani, yaitu menanan (membudidayakan) pisang dan keladi dalam skala
besar sehingga terdorong keinginan untuk menambah income sehari-hari. Hal tersebut juga
dilakukan sambil menunggu kebun kelapa yang ditanam hingga menghasilkan buah
nantinya, tentunya hal tersebut dapat juga menghasilkan keuntungan. Pisang dipanen
ketika buah di tandan masih hijau, diperam sekitar seminggu sehingga ia menguning dan masak dan
dapat pula menjaga (mencegah) agar tandan jangan cepat rusak. Jika setelah dua atau tiga tahun, budidaya pisang dengan cara menanamnya di antara di antara batang kalapa tidak lagi menguntungkan, maka menanam
pisang tersebut tidak lagi dilanjutkan di kebun tersebut. Banyak perkebunan pisang
besar ditemukan di
sepanjang tepi sungai. Buah
pisang yang telah dipanen tersebut diangkut dengan transportasi sampan dengan
muatan penuh (sehingga membuat sampan hampir tenggelam) yang dijual/ditawarkan
ke daerah tetangga untuk dijual di
pasar. Jenis pisang yang dijual seperti pisang
raja, pisang susu, pisang tandak, pisang mas, pisang gembor, pisang udang dan
pisang kepok. Ada juga pisang jenis rotan, lilin dan lainnya namun kurang
dikenal dan jarang dijumpai di pasaran. Ada juga jenis pisang langka dan mahal
harganya seperti pisang Ambon dan pisang Ambon Lumut. Adapun jenis tanaman pisang
untuk diekspor yaitu pisang tanduk dan pisang puan. Budidaya pisang
sangat penting khususnya di distrik Tungkal (Onderafdeeling
Jambi).[85]
Tabel 4.3: Menurut laporan Impor
dan Ekspor Hindia-Belanda
tentang ekspor pisang dari pelabuhan Kuala Tungkal (Distrik Tungkal)
selama tahun 1929-1935, yaitu:[86]
Tahun
|
Tandan
|
Bruto
(kg)
|
Harga
(f.)
|
1929
|
131.410
|
680.264
|
39.660
|
1930
|
228.560
|
1.140.055
|
68.170
|
1931
|
175.794
|
878.320
|
52.743
|
1932
|
53.370
|
272.600
|
16.161
|
1933
|
31.587
|
158.658
|
9.616
|
1934
|
57.870
|
290.705
|
10.152
|
1935
|
140.930
|
712.700
|
21.165
|
Di daerah Kuala
Tungkal, budidaya pisang hanya pekerjaan
sampingan/sementara pada kebun kelapa yang baru direklamasi.
4. Perkebunan Keladi
Begitu juga pada ketika itu,
selain bertanam pisang, orang-orang Banjar di Kuala Tungkal bagian Distrik
Tungkal (Onderafdeeling Jambi) juga membudidayakan atau menanam keladi
(Colocasia) dalam jumlah besar yang merupakan salah satu komoditas ekspor
yang sangat penting. Menanam keladi tidak memerlukan tanah khusus seperti
halnya pisang, karena tanaman ini tumbuh di tanah gambut begitu mudah yang juga ditanam pada
perkebunan kelapa yang sudah ada.[87]
Selain beras yang dihasilkan oleh
masyarakat, untuk mengisi kebutuhannya sendiri (sehari-hari), orang-orang juga
menanam kacang-kacangan, tebu, kapuk, pinang, aren, wijen, pisang, buah-buahan,
tembakau dan kelapa secara eksklusif. Begitupula di sekitar Ibukota Jambi, banyak perkebunan nanas yang (cukup
besar) juga ditanam oleh orang-orang Banjar.[88]
C.
Pengolahan Hasil Hutan
Perkebunan percobaan, terletak di tanah tinggi
(pematang), serta di [Kuala] Tungkal di dataran rendah telah menderita keadaan
kekeringan sengit (kemarau). Perkebunan dan pengelolaan hasil hutan di kota Jambi sudah agak maju. Oleh pejabat terkait menganjurkan (mendorong) dengan penuh
semangat dan semaksimal mungkin, sehingga di mana-mana rakyat banyak mengelola hasil
hutan dan berkebun (terutama rotan, kelapa, pinang, tembakau, dll). Banyak
pejabat pemerintah yang ditempatkan pada daerah-daerah perkebunan dan daerah
yang kaya akan hasil hutan.[89] Selain menggeluti bidang pertanian dan perkebunan yang
biasa dikerjakan seperti menanam padi dan menanam kelapa, ternyata orang-orang
Banjar juga ahli dalam mengelola hasil hutan dan berkebun nanas (khususnya di sekitar Ibukota Jambi) untuk kebutuhan hidup.
Tabel 4.4: Berikut beberapa ekspor produk
hasil pertanian dan hutan dari Pelabuhan Jambi, Muara Sabak dan [Kuala] Tungkal tahun 1910 dan 1911.[90]
Produk Pertanian dan Hutan
|
Ekspor
|
|||||
1910
|
1911
|
|||||
Kuantitas (Kg)
|
Nilai
|
Kuantitas (Kg)
|
Nilai
|
|||
Djeloetoeng
|
147.5966
|
f.
|
312.676
|
2.320.488
|
f.
|
470.499
|
Getah Pertja
|
201.825
|
f.
|
277.128
|
83.194
|
f.
|
124.677
|
Getah Soesoeh
|
347.765
|
f.
|
577.877
|
169.109
|
f.
|
265.354
|
Plantage-rubber
|
–
|
–
|
f.
|
3.758
|
||
Damar
|
24.866
|
f.
|
5.462
|
9.423
|
f.
|
495.074
|
Rotan[91]
|
3.213.359
|
f.
|
362.843
|
3.821.942
|
f.
|
627
|
Ananas
|
–
|
–
|
20.880
|
|||
stuks
|
||||||
Ijzerhout/
Ironwood
|
277 Mtr3
|
f.
|
14.000
|
626 Mtr3
|
f.
|
32.000
|
Setelah Kuala
Tungkal semakin ramai, maka budaya menanam kelapa dan membuka sawah untuk
menanam padi juga terus berkembang, maka di Kuala Tungkal dan Muara Sabak
banyak terjadi penebangan pohon-pohon, tetapi masih dalam skala kecil hanya
sekedar untuk memenuhi kebutuhan pribadi seperti kayu bakar dan arang, namun
hal tersebut bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Karena hal tersebut,
maka keluarlah Peraturan Residen Jambi atau Residents Besluit (RB) tanggal 31 Mei
1932 Nomor 207 dan diubah oleh keputusan
dari 8 Agustus 1934 No. 418, 16 April 1935
No. 137 dan 15
Juli d.a.v. No. 335.
Dalam 9 bulan
pertama tahun 1934, ekspor ke Singapura sekitar 13.175 m3 dari Kuala Tungkal dan
2.548 m3 dari Muara Sabak yang mana permintaan dari Singapura terus meningkat
untuk pembuatan peti mati. Karena hal demikian, maka keluar pulalah Peraturan
Residen Jambi atau Residents Besluit (RB) tanggal
15 Juli 1935 No. 355 mengenai peraturan ekspor kayu di
daerah pesisir Jambi (Kuala Tungkal dan Muara Sabak).[92]
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !