SEJARAH BANJAR KUALA TUNGKAL JAMBI (BAGIAN 02) - Tanjab Tempo Doeloe
Headlines News :
Home » » SEJARAH BANJAR KUALA TUNGKAL JAMBI (BAGIAN 02)

SEJARAH BANJAR KUALA TUNGKAL JAMBI (BAGIAN 02)

Written By Tungkal on Wednesday, December 31, 2014 | 11:37 PM

MIGRASI URANG BANJAR KE TANAH TUNGKAL
(Sebuah catatan awal sementara dari berbagai sumber)

MATA PENCAHARIAN

Migrasi orang Banjar – secara umum – memiliki pola yang konservatif, artinya tetap bertani (subsistens) dan melakukan pekerjaan serupa seperti di kampung halamannya. Mata pencarian utama orang Banjar di Sumatera Utara, Riau, Jambi dan Malaysia, sebagian bertani padi, pemilik perkebunan karet dan kelapa dalam ukuran kecil, sedikit di antaranya juga menjadi buruh.[1] Namun menurut penulis jika membaca dari berbagai sumber, bahwa pekerjaan orang Banjar bukanlah hanya terbatas pada skala kecil saja, melainkan sudah berskala besar dan meluas, banyak di antara mereka yang memiliki persawahan dan perkebunan yang berukuran luas, sebagaimana yang masih dilihat hingga saat ini.
Pemadaman orang-orang Banjar ke Kabupaten Tanjung Jabung Barat khususnya Kuala Tungkal dan sekitarnya (Tungkal Ilir) yang membuka lahan perkebunan dan persawahan, itu terjadi sebelum tahun 1900 M. Orang Banjar datang secara bertahap-tahap dan bergelombang mulai dari sekitar Kuala Tungkal kemudian ke arah ke sebalah Barat dan Timur, Utara dan Selatan. Perlu diketahui bahwa daerah pantai Kabupaten Tanjung Jabung pada tahun tersebut masih kosong penghuninya, sejak dari daerah rawa dan gambut sampai 50 km dari pantai.[2] Sedangkan daerah yang berdataran tinggi berstruktur tanah liat yang paling dekat adalah Pematang Lumut, daerah tersebut berjarak sekitar 30 km dari Kuala Tungkal.[3]
Setelah terbukanya Kuala Tungkal, banyak masyarakat yang kemudian membuka hutan untuk dijadikan untuk lahan pertanian dan perkebunan kelapa. Mereka melakukannya dengan menggunakan sistem drainase, sistem ini telah dipelajari dan dilakukan oleh orang-orang Banjar di Banua (Kalimantan Selatan) dari sejak lama yang kemudian digunakan pula ketika membuat perkebunan kelapa. Sistem drainase ini dilakukan dengan cara menggali tanah untuk pengairan. Dengan menggunakan sistem seperti itu, maka tanah rawa yang ada di Kuala Tungkal ini digali. Penggalian ini dilakukan sebagai sarana untuk mempermudah dalam berkebun yang dilakukan secara terus-menerus.
Sebagaimana yang terjadi di sepanjang Sungai Labu, banyak pembangunan (perubahan) parit yang dilakukan di perkebunan kelapa, sebagaimana survei yang dilakukan oleh Topografische Dienst (Dinas Topografi) atau Dinas Pelayanan Survey di Jambi.[4] Orang Banjar datang membuka daerah Tungkal Ilir dengan menggali parit-parit dan ditanami dengan kelapa, karet dan sebagian lagi untuk persawahan. Karena itulah pada tahun belasan sampai terakhir pemerintahan Belanda, orang Banjar yang menguasai perkebunan di daerah 7 kecamatan di Tanjab Barat.[5] Perkebunan kelapa banyak juga terdapat di Kampung Baru dan Muara Sabak yang terletak 3 dan 15 km dari muara Batang Hari.[6] Parit adalah sungai kecil yang digali oleh orang untuk mempermudah akses komunikasi dan transportasi dalam kehidupan sehari-hari yang salurannya mengalir dari/ke sungai. Sedangkan yang lebih kecil lagi dari parit disebut dengan parit anak atau anak parit, yaitu saluran yang air mengalir dari parit. Sedangkan sungai adalah air yang mengalir dan muaranya ke laut.
Pada masa permualaan, mereka dianggap sebagai kelompok yang terbaik dalam hal membuka hutan dan menggali saluran. Karl J Pelzer, Profesor dari Yale University yang banyak berjasa dalam menguraikan proses ditempatinya daerah-daerah baru di Jawa dan Sumatera, melaporkan bahwa pada tahun 1917, ketika akan mengembangkan daerah Sumatera Timur, Pemerintah Kolonial mendatangkan pertani-petani yang sebagian besar berasal dari Banjar yang telah memiliki pengalaman bekerja di perkebunan-perkebunan. Orang Banjar yang banyak bekerja di Sumatera itu, kebanyakan kaum pria berasal dari Hulu Sungai, Kandangan, Barabai dan Tanjung.[7] Hal ini juga sama halnya yang terjadi di Kuala Tungkal Tanjung Jabung sebagaimana yang ditunjukkan pada statistik pada tahun 1930 tersebut.
Pada awal abad ke 20, sudah banyak imigran yang berdatangan khususnya orang-orang Banjar asal Kalimantan Selatan di daerah dataran rendah/pantai Jambi (Kuala Tungkal dan sekitarnya). Sehingga tidak mengherankan bahwa pertumbuhan penduduk di daerah ini paling cepat dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Jambi, karena selain penduduknya banyak dari kalangan orang-orang Banjar dan juga yang lainnya. Adapun kenapa mereka memilih Kuala Tungkal sebagai tempat penghidupan baru, hal itu juga dilakukan karena termotivasi secara eksklusif terhadap adanya peluang untuk mendapatkan lahan baru yang dapat digunakan sebagai perkebunan untuk menanam tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, terutama karet dan kelapa.[8] Karena jika terjadi fluktuasi atau ketidakstabilan (ketidaktetapan atau guncangan naik-turunnya) harga karet dan masyarakat hanya mengandalkan sumber daya (budidaya) yang ada saja, maka itu sangat membahayakan ekonomi seperti terjadi pada dekade pertama abad ke 20 di Jambi.[9]
Selain dari kampung halaman sendiri, orang Banjar ada juga yang datang Malaya dan Deli dan kemudian mendiami daerah pantai Tanjung Jabung Barat. Dibagunnya kota Kuala Tungkal oleh Belanda adalah untuk memudahkan menampung hasil pertanian dan kemudian diekspor ke luar negeri, hasil pertanian tersebut diperoleh dari kebun kelapa dan karet yang dibangun oleh orang Banjar di sepanjang bahagian ilir sungai Pegabuan dan sungai Betara.[10]
Sebagaimana diketahui, bahwa etnis Banjar[11] dikenal sebagai pelaut dan nelayan yang tangguh dan handal. Hingga sekarangpun mata pencaharian orang-orang Banjar di Tanjung Jabung masih didominasi pekerjaan dalam beberapa bidang tersebut yang mana biasanya yang melakukan pekerjaan tersebut adalah masyarakat yang berada di pedesaan, jarang sekali di antara mereka yang bekerja sebagai nelayan atau tidak sebanyak petani.
Ada beberapa mata pencaharian orang-orang Banjar di Kabupaten Tanjung Jabung dalam menjalankan penghidupannya, pekerjaan tesebut sama halnya dengan pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang Banjar di Banua (Kalimantan Selatan) dan di perantauan dari dahulu hingga sekarang. Di antaranya pertanian (sawah), perkebunan (kelapa) dan pengolahan hasil hutan.

A.      Pertanian (Agriculture)
Sebagaimana diketahui, bahwa makanan pokok mayoritas masyarakat kita adalah beras. Beras adalah bahan makanan pokok kita dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu tentunya tidak bisa pula dipisahkan dari kehidupan para perantau khususnya orang-orang Banjar. Dalam membuka lahan (land clearing), tentunya orang-orang Banjar memikirkan kebutuhan untuk penghidupan agar tetap dapat bertahan hidup dalam perantauan. Dalam expedisi Sumatera Tengah (Midden-Sumatra Expeditie) di daerah Jambi yang dilakukan orang Belanda tanggal 20-31 Oktober 1877 yang menyusuri sungai Tungkal, kemudian juga sungai Lagan (terletak antara sungai Tungkal dan Sungai Batanghari) yang ukurannya paling lebar hingga 16 meter, hampir di sepanjang tepi sungai tersebut ditanami padi oleh penduduk Muara Sabak. Juga di Sungai Betara ditemukan beberapa dusun, di sepanjang sungai ini sangat sedikit, daerah yang jarang berpenghuni.[12]
Penduduk daerah Jambi, pada tahun 1910-an lebih suka membudidaya tanaman padi di tanah kering yang disebut ladang (di daerah dataran tinggi/perbukitan di bagian hulu Jambi) atau budaya padi di sawah basah (di daerah hilir Jambi). Sejak beberapa tahun terakhir ada upaya pemerintah untuk mengatasi kegagalan dalm bercocok tanam, yaitu dengan banyak membuat bendungan atau menggali drainase (pintu air) di atas tanah rawa atau lumpur (daerah tergenang) ke arah daratan yang (agak sedikit) lebih tinggi yang mana airnya mengalir dari sungai-sungai besar yang muaranya langsung ke laut sehingga menghasilkan banyak sawah yang baik.[13]
Pada bulan Juni dan Juli 1916, Dr. J. Van Breda de Haan melakukan kunjungan ke daerah rendah (pantai Tanjung Jabung) Jambi dan banyak memperoleh (dan mencatat) informasi mengenai budidaya padi di daerah pesisir yang mana penduduknya begitu akrab dengan produk beras lokal dengan berbagai varietas hingga bagaimana cara memproduksi padi menjadi beras. Pada kesempatan ini ia menjelaskan atau memberikan laporan (gambaran) singkat bagaimana cara budidaya padi tersebut. Banyak keanehan yang dijumpai dalam budidaya (tanaman nutrisi) ini terkait erat dengan kondisi lahan yang tersedia (ada). Daerah bagian hilir (paling timur) Jambi terdiri dari dua bagian yang berbentuk delta sungai Batang Hari dan sungai Tungkal yang airnya mengalir ke/dan berbatasan (berhadapan) dengan laut lepas.[14]
Angin Musim Barat menyebabkan Indonesia mengalami musim hujan. Sehubungan dengan kuatnya curah hujan di bulan Desember, Januari dan Februari sehingga mengakibatkan terjadinya banjir musiman (banjir rob) di sungai-sungai yang (lebih) besar yang terjadi pada awal bulan Januari lalu. Pada bulan Februari tingkat (debet) air semakin terus meninggi hingga naik ke daratan.[15] Air meninggi (pasang) berlangsung selama tiga minggu dan selebihnya akan surut. Banjir yang terjadi pada bulan Maret dan terkadang sampai bulan April waktu pasangnya tidak terlalu lama. Pada bulan Mei hingga Oktober musim angin muson-Z timur lebih dominan, sementara pada bulan-bulan yang lain musim angin N. Barat yang terjadi.[16]
Secara umum, beras yang dikonsumsi oleh penduduk asli Jambi cukup signifikan. Dalam keadaan biasa, masyarakat dapat makan beras tiga kali sehari, namun ketika jumlah beras dalam perut Jambi menghilang, mungkin saja di tempat lain akan cukup hanya untuk dua kali makan saja dalam sehari. Konsumsi umbi-umbian berkurang beberpa tahun terakhir. Untuk mengatasi kekurangan beras tersebut, masyarakat juga mengkonsumsi jagung (mais) yang terjadi beberapa tahun terakhir. Budidaya ubi kayu (cassave) banyak juga dilakukan karena lebih mudah dari pada mencari gadung (Diosoorea spec.) dan umbi-umbian lainnya di hutan.[17] Sekarang memang belum praktek standar memanen padi, penanaman makanan yang cocok untuk makanan (lauk-pauk). Selanjutnya yang mengherankan, adalah kebiasaan menginjak-injak atau menggrinding (menggiling) padi dengan tangan menggunakan mesin (handmolentjes) untuk memisahkan antara gabah (kulit padi) dan beras putih. Walaupun hanya makan dengan lauk lombok dan ikan. Untungnya, kekayaan ikan sungai dan rawa-rawa sangat besar, sehingga tidak terlalu sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.[18]
Setelah masyarakat selesai panen, biasanya mereka menghabiskan waktu untuk mencari hasil hutan (seperti rotan, jelutung dan lain-lain). Karena ketika ini para-karet (Hevea brasiliensis atau para-rubber) belum begitu terkenal di daerah Jambi.[19]
Sekarang masyarakat banyak ditopang oleh pendapatan dari para-karetnya, tidak perlu khawatir untuk penghidupan selanjutnya, cukup menjadi sumber pendapatan dalam tahun-tahun normal[20] seperti saat ini, maka tidak perlu mengeluarkan biaya besar lagi untuk membeli “beras laut” (beras impor).[21] Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa usaha bidang pertanian khususnya beras (padi) memiliki peranan penting dalam rangka penyediaan kebutuhan penduduk. Kita sekarang dapat melihat bagaimana daerah-daerah yang telah memperaktekkan budidaya padi.[22]
Ada beberapa hama dan penyakit yang terjadi pada tanaman padi, beberapa di antaranya sangat berbahaya (piangan) karena dapat merusaknya. Menurut keterangan Nezara viridula L. Voorts, penyakit yang menyerupai padiboerder (Schoenobius bipunctifer) dan walang sangit (Leptocorisa acuata, Thun.). Kerusakan yang diakibatkan tikus yang biasanya relatif sedikit, kini semakin banyak, juga di beberapa daerah, ditemukan ada kesulitan mengusir burung dan begitu celeng (babi).[23]
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi beberapa kali kegagalan dalam pertanian (budidaya) padi, sebagian besar terjadi di daerah yang lebih rendah (pantai) dari Djambi. Secara umum, bahwa pengaruh hama relatif kecil (sedikit). Tapi hal yang terbesar yang mempengaruhi kegagalan panen adalah karena kondisi cuaca yang tidak normal atau cuaca yang moderat (ekstrim) dalam beberapa tahun terakhir, yaitu banjir besar yang menenggelamkan banyak sawah penduduk. Oleh karena itu keteraturan dalam menanam padi sangat penting dan hal tersebut telah berhasil diterapkan di beberapa tempat.[24]
Sebagai wilayah percobaan, [Kuala] Tungkal (Jambi) merupakan daerah yang paling sesuai (tepat). Suatu daerah yang memiliki persawahan yang luas yang dibangun (ditemukan) oleh orang-orang Banjar yang kemudian diikuti oleh orang-orang Jawa. Diharapkan dengan hal tersebut dapat memberikan kontribusi dalam rangka memberikan solusi atas persoalan yang sekarang terjadi.[25]
Selain itu juga orang-orang Banjar bersawah (menanam padi), sebagaimana yang terjadi pada tahun 1929, dikarenakan hasil penyadapan karet menurun, maka banyak orang-orang Banjar yang semula mengabaikan untuk penanaman padi, maka mulai memberikan perhatian dengan beralih kepada membudidayakan beras (bersawah) dengan membuat sistem irigasi sehingga dapat menguntungkan.[26] Pada dekade ketiga abad 20, orang-orang Banjar sudah semakin berhasil dengan membudidayakan padi sawah pasang-surut dan sudah menghasilkan produksi yang memuaskan. Hal itu selalu menjadi perhatian oleh pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian memasuki tahun 1930-an biasanya mulai (musim) menanam padi pada bulan Oktober dan panen pada bulan Februari-Mei. Kegiatan untuk menamam hingga memanen membutuhkan waktu berbulan-bulan. Karena persoalan penurunan harga karet, maka orang-orang mulai menghabiskan waktu mereka dengan beralih untuk membudidayakan padi (bersawah) dan mengabaikan untuk menyadap karet.[27]
Orang Banjar datang membuka daerah Tungkal Ilir dengan menggali parit-parit dan ditanami dengan kelapa, karet dan sebagian lagi untuk persawahan. Makanya pada tahun belasan sampai terakhir pemerintahan Belanda, orang Banjar yang menguasai perkebunan di daerah 7 kecamatan di Tanjab Barat.[28]
Sebelum tahun 1942, tepatnya sebelum kedatangan tentara Jepang, Kuala Tungkal merupakan daerah yang sangat kaya dengan pertanian/sawahnya. Sebuah kenyataan hidup dan fakta bahwa kehidupan di daerah Jambi mengalami kekurangan beras. Tatkala daerah Jambi mengalami kelangkaan beras, maka penduduk mendistribusikannya ke daerah kekurangan beras tersebut. Bahkan di daerah Jambi sendiri seperti Kerinci (pantai Barat Sumatera) dan Kuala Tungkal (pesisir pantai Jambi) berhasil mengimpor beras sekitar 20.000 ton/tahun. Sehingga dua daerah ini disebut dengan daerah “pengekspor beras dalam daerah Jambi”.[29]
Dalam masa-masa perjuangan pasca kemerdekaan Indonesia hingga Agresi Militer Belanda kedua (1945-1949), sebagaimana dalam sebuah laporan, bahwa daerah Jambi yang berada di Sumatera adalah daerah yang sangat penting bagi Pemerintah Republik, khususnya Kuala Tungkal dan sekitarnya (Tungkal Ilir). Pada tahun 1947, situasi pangan yang terlihat sudah berubah, tidak buruk seperti beberapa waktu yang lalu seperti yang terjadi pada zaman Jepang. Uuntuk diketahui bahwa di daerah Jambi ada 3 jenis beras untuk dijual, yaitu beras jenis Westkust-rijst dari Kerinci (Sumatera Barat) dengan harga f. 150,- Jap. Crt., jenis Saigon-rijst dari Saigon (Vietnam) dengan harga f. 170,- Jap. Crt dan jenis Kuala Tungkal-rijst dari Kuala Tungkal (Jambi)[30] dengan harga f. 125,- Jap. Crt. Namun hal ini menunjukkan bahwa setidaknya ada juga impor beras dari luar negeri dan pantai Barat Sumatera. Namun keadaan yang kurang baik adalah pada masa ini daerah Jambi muncul (terkontaminasi) epidemi cacar (pokkenepidemie) di daerah Jambi ini.[31]
Pada masa pendudukan Belanda di daerah Jambi tahun 1948, banyak daerah yang kekurangan beras karena gagal panen. Sebagaimana dilaporkan oleh “Aneta”[32] koresponden dari Palembang mengetahui bahwa situasi kesulitan pangan di daerah Djambi, sehingga harga beras meningkat menjadi 7 atau 8 gulden per kilo. Pemimpin delegasi dari Jambi, Khalil, mengikuti konferensi di Sumatera Selatan, dengan penjelasannya ia mengatakan bahwa penyebabnya adalah kegagalan panen karena banjir mencapai 80 persen. Pemerintah akan mengirimkan 100 ton beras. Dengan kenaikan harga beras tersebut, mengakibatkan akan terjadinya penyelundupan dari Palembang ke Jambi.[33]
Sebagaimana diketahui bahwa daerah Tanjung Jabung ini pertaniannya multiculture, yaitu tertumpah tenaga dan pikiran kepada beberapa hasil pertanian, seperti kelapa (kopra), padi (beras) dan lainnya. Di bidang makanan seperti padi dan lainnya, tidak hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, bahkan dapat mensuplay daerah lain di Jambi. Namun setelah Jepang datang menjajah pada masa awal kemerdekaan banyak pemadam yang datang dari Jawa dan Sulawesi. Dari dekade pertama abad 20 sampai berakhirnya pemerintahan Belanda urang Banjar dipamadaman Tanjung Jabung dapat merasa kan kesejahteraan dari hasil kebun Kelapa dan Pahumaannya. Pada zaman Jepang kebun kelapa banyak yang rusak dan banyak pula berpindah ketangan etnis lain, sehingga urang Banjar beralih Propinsi kepada usaha yang lainnya, sekarang urang Banjar dan keturunannya merata dalam semua bidang perekonomian.[34]
Data tersebut menggambarkan bahwa orang-orang Banjar bagitu akrab dengan dunia agraris, yaitu pertanian atau persawahan (menanam padi atau bahuma; Banjar) dan juga perkebunan (menanam kelapa). Kemudian puluhan tahun lamanya orang-orang Banjar hidup bertani dan berkebun, mereka dapat memperoleh hasil yang menggembirakan dan memuaskan. Dengan kata lain, di daerah Jambi, para petani dari kalangan Banjar ini yang memperkenalkan bagaimana bertani, berkebun dan mengelola hasil hutan yang baik di daerah rawa pasang surut ini.
Dari awal abad ke 20 hingga tahun 1998 terjadinya pemekaran kabupaten Tanjung Jabung menjadi 2 kabupaten (kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur), dalam perjalanannya Tungkal Ilir adalah merupakan lumbung beras dan pensuplay besar beras dalam provinsi Jambi. Namun setelah beberapa tahun kemudian hal tersebut tidak terjadi lagi.

B.      Perkebunan (Plantation)
1.       Perkebunan Kelapa LIHAT JAMBI 187 KELAPA
Kelapa adalah salah satu tanaman yang paling banyak ditanam di daerah-daerah rendah (rawa/pantai) di Indonesia. Semua yang ada pada tanaman kelapa itu dapat digunakan, mulai dari batang (jalan/jembatan), daun (ketupat/obor), urat-urat daun,[35] peluru kosong,[36] tunas muda[37] dan lain-lain. Kelapa yang diparut[38] atau ampas kelapa (endosperm atau kiemwit) dapat dicampur (dijadikan) makanan (lauk) paling enak yang dimakan dengan nasi, begitu juga dapat menghasilkan minyak kelapa dengan cara memerasnya dan untuk bahan mentega. Karena tingginya permintaan pasar dunia untuk lemak (sabun dan margarin), hal itu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bekerja sebagai petani kelapa. Selain itu juga, dapat dijadikan kopra dengan cara (membanam) membakar di bawah panas api yang kemudian dikeringkan (dijemur) di bawah panas matahari dan siap dipasarkan. Banyak masyarakat yang meninggalkan pekerjaan mereka dan beralih menjadi petani untuk membudidayakan kelapa seperti di daerah pantai Bengkulu, Palembang, Jambi dan lain-lain.[39]
Pada bulan November 1912 penduduk di kawasan [Kuala] Tungkal membeli 7.000 bibit kelapa yang didatangkan dari Singkep dan Indragiri untuk penanaman baru.[40] Ketika itu pula orang-orang Banjar (orang-orang dari Kalimantan Selatan) yang menempati daerah (muara) sungai Tungkal telah membuat perkebunan kelapa yang luas, dengan cara menggali rawa pesisir pasang surut/lahan basah (dengan cara membuat drainase) atau irigasi, juga bendungan dan pintu air yang dapat berubah menjadi sawah subur sehingga menghasilkan peningkatan yang signifikan dan produksi hasil kelapa secara bertahap dapat diekspor.[41]
Pada tahun 1913, budidaya kelapa di Sumatera semakin berkembang, seperti di Lampung, (Kalianda), Tapanuli (Natal dan Batung Natalen di Pulau Nias), Aceh, Jambi (terutama di Tembesi dan Tungkal), Belitung, Riau. Begitu juga di daerah lainnya, seperti Kalimantan Barat (sepanjang daerah pesisir), Kalimantan Selatan dan Timur dan Sulawesi.[42]
Pada dekade ketiga abad ke 20, di muara (kuala) sungai Tungkal dan di sepanjang hilir sungai semakin bertambah banyak pemukiman, terutama koloni orang-orang Banjar. Budidaya dan eksploitasi kelapa semakin meningkat pesat dan secara besar-besaran, namun ekspor kopra pada tahun 1924 hanya berjumlah sekitar (sebesar) 700 ton.[43] Di daerah pesisir Jambi terdapat budaya kelapa; diperkirakan pada tahun 1927 pohon yang berbuah sekitar ±60.000 pohon, sementara ±486.000 pohon belum berbuah.[44]
Sepanjang Sungai Labu pada tahun 1938, banyak pembangunan (perubahan) parit di dilakukan perkebunan kelapa, sebagaimana survei yang dilakukan oleh Topografische Dienst (pelayanan survey) di Jambi.[45] Perkebunan kelapa banyak juga terdapat di Kampung Baru dan Muara Sabak yang terletak 3 dan 15 km dari muara Batanghari.[46]
Di Jambi hampir setiap desa memiliki kebun (pohon) kelapa yang cukup. Di dataran tinggi sekitar 600-1000 meter dari atas permukaan laut kurang menguntungkan karena buahnya tidak sebagus buah yang dihasilkan dari perkebunan yang berada di pesisir (pantai) Jambi. Kemudian Tungkal Ilir (Kuala Tungkal sebagai daearah utama) merupakan daerah dengan perekonomian yang sangat penting, begitupula di Muara Sabak orang-orang Banjar banyak juga yang bertanam kelapa. Pada tahun 1934 daerah Tungkal Ilir luas lahan yang ditanami sekitar 5.000 hektar, dengan banyak pohon kelapa yang ditanam diperkirakan sekitar 900.000 batang, sedangkan sekitar 250.000 dapat berproduksi dengan baik.[47]
Sebagian besar pohon kelapa yang ditanam tersebut di perkebunan antara Kaula Tungkal ke arah Betara dan Beramhitam (sekitar ¾% merupakan lahan perkebunan kelapa). Sedangkan perkebunan kelapa di onderdistrik (kecamatan) Muara Sabak pada tahun 1934 diperkirakan mencapai 150.000 pokok, di mana sekitar 10 persennya berbuah. Pokok kelapa sudah ditanam pada pertengahan tahun 1933 yang luasnya mencapai sekitar 1000 ha (hektar). Adapun bibit yang ditanam umumnya pada berusia 1-2 tahun. Tidak ada waktu tertentu untuk menanam kelapa, jika ada keininginan untuk menanam, maka akan ditanam atu sebaliknya. Jarak antara batang pokok kelapa adalah 7 sampai 8 m2. Akan tetapi, karena bibit buah disusun secara horizontal yang ditanam di tanah berlumpur, apalagi pohon-pohon yang telah telah berproduksi berusia setelah lima tahun, sebagiannya telah terdistorsi. Untuk memanen kelapa tidak ada waktu tertentu, biasanya dilakukan dalam waktu setiap dua bulan.[48] Banyak kebun-kebun yang tidak terawat yang selalu dibiarkan sehingga penuh dengan gulma (tanaman liar) termasuk tumbuhan liar piyai (pakis). Terkadang hanya sesekali saja dibersihkan oleh yang mempunyai kebun, itupun dilakukan jika produksinya menguntungkan. Ada beberapa kali hama dan penyakit kelapa yang terlihat. Orang-(pemangku) orang yang berkepentingan melakukan pemeliharaan (pengontrolan) dengan cara membakar limbah buah dan daun kering di antara pohon-pohon. Meskipun metode kontrol ini tidak sepenuhnya berhasil, pemilik kebun tersebut tidak dapat ditekankan dengan mengatakan bahwa penanaman dalam rangka pemeliharaan yang lebih baik akan benar-benar menghapus gulma di dan sekitar pangkal pohon yang dapat mengurangi kemungkinan bahaya binatang yang akan merusak pohon. Dengan cara tersebut, mungkin akan dapat meningkatkan hasil produksi. Hasilnya sangat bervariasi (hasil yang berbeda-beda), ada pohon yang menghasilkan 200 buah, ada juga yang hanya 6o buah saja pertahunnya.[49]
Kemudian kelapa tersebut dibuat kopra. Hal yang pertama kali dilakukan untuk membuat kopra adalah, mengumpulkannya buah dengan menggunakan ambung (alat mengangkut kelapa) pada satu tempat. Setelah kelapa-kelapa dikumpulkan, maka terlebih dahulu membuang (melepaskan) sabut kelapa dengan cara menguyaknya (mengoyaknya atau menungkihnya). Kemudian setelah itu, memecahkan kelapa dan menguitnya (mencongkel untuk memisahkan isi dan batok kelapa) yang kemudian dibanam (dibakar) di atas lantai nibung[50] yang telah disediakan di langkau (pondok tempat untuk menyelai kelapa) tersebut selama 7-8 jam di atas panas api yang berasal dari sabut kelapa kering yang dibakar (dengan kulit kelapa sebagai bahan bakar). Kemudian daging buah yang dibanam semi-basah itu dijemur. Seringkali juga dilakukan pengeringan lebih lanjut dengan menggunakan tempat api. Kualitas kopra terbaik adalah yang dikeringkan di bawah sinar matahari, warnanya agak kehijauan, sehingga harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga kopra kering yang dibanam (dinakar) di atas api.[51] Dalam 100 kg (1 kwintal atau 1 pikul) kopra dibutuhkan sekitar 350 buah yang. Pada 1933 biaya, jika mengupah untuk memetik per 100 buah dibutuhkan biaya f. 0.15; untuk transportasi ke tempat operasi (pondok) per 100 buah dibutuhkan biaya f. 0,15; untuk membuka (memecah) buah dan mencungkil daging buah per 100 buah seharga f. 0,25. Harga biaya 100 kg kopra adalah f. 6.95.[52] Pengiriman berlangsung di pelabuhan Kuala Tungkal, baik dalam bentuk kopra atau kelapa dalam saja. Produk ini tergantung pada harga pasar, jika harga pasar tinggi, maka harganya akan mahal, begitu pula sebaliknya. Pada tahun 1932, misalnya, ada permintaan kelapa yang besar dari Siam. Secara umum, bagaimanapun, kopra secara eksklusif dikespor luar negeri. Perusahaan pengiriman sepenuhnya dimiliki oleh Cina, berorientasi ke Singapura sebagai daerah ekspor.[53] Harga rata-rata 100 kg kopra pada tahun 1931 adalah f. 9.- dan pada tahun 1932 adalah f. 6.-, pada tahun 1933 itu jatuh menjadi f. 4.-, sedangkan pada tahun 1934 harga menurun drastis antara f. 2:50-f. 3).[54] Ekspor kopra ini penting dan meningkat. Ekspor buah kelapa yang sudah dikupas juga terjadi ke Singapura, sedangkan indeks, yang diekspor ke ibukota Jambi atau Palembang, masih dalam pengupasan.[55]
Kelapa dari Kuala Tungkal di Jambi tidak terlalu populer; satu di sini memberikan preferensi seperti halnya Kampung Laut dan Teluk Majelis (onderdistrik Moearasabak) karena kandungan lemaknya yang lebih besar.[56] Meski harganya lebih stabil dibandingkan dengan karet,[57] namun, ada perbedaan besar. Pada paruh pertama tahun 1932 harga kelapa dalam berfluktuasi antara f. 2,- dan f. 0,90,- per 100 buah.[58]

Transportasi ke Singapura oleh KPM (masyarakat ini memberikan muka pada pihak dilakukan) jumlah untuk kopra seharga f. 0,40 per pikul dan indeks f. 5 per 1000 lembar.[59] Bukan dengan KPM, ekspor kelapa dalam dari Muara Sabak hanya berkisar kira-kira 3500 Kw per bulan.[60] Hanya sebagian kecil yang dikirim ke Jambi dan Palembang, karena biayanya lebih mahal, yaitu sekitar f. 1.20,- per 100 buah.[61] Berikut Kopra tidak siap here (11, 168).



Tabel 4.1: Statistik ekspor kopra, kelapa dan impor minyak kelapa Jambi.[62]
Tahun
Kelapa
(per 1000 biji)
Kopra
(per 1000 Kg)
Minyak Kelapa (Kg)
Nilai
(per 1000 guldens)
1925
321
859

227
1926
545
1.163

270
1927
1.219
1.385

265
1928
1.050
2.169

463
1929
1.759
2.853

518
1930
3.340
3.415

1931
4.398
439.557[63]
557
1932
2.769
7.397
301.030
648
1933
2.297
10.970
276.315
835
1934
11.614
823.035
455
1935
[64]
14.328
652.364
801
Dewan pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan pengarahan mengenai pembudidayaan kelapa, namun hal yang sangat sulit bagi masyarakat umum adalah untuk menjaga kebun.[65] Menurut laporan, hingga tahun 1937 jumlah penduduk Jambi hampir 150.000 jiwa yang mana populasi pendatang terbanyak yaitu dari kalangan Banjar, Bugis, Bawean (Boyan) dan Jawa,[66] sedangkan orang-orang Banjar banyak juga yang terdapat di daerah Riau.[67] Dengan demikian, menjadikan Kuala Tungkal dan Muara Sabak yang lokasinya dekat dengan pantai, banyak ditanami kelapa oleh orang-orang Banjar yang mana rupanya perkebunan kelapa tersebut dapat berkembang dengan baik.[68]
Residen Jambi Ruychaver mengatakan, bahwa hasil (perkebunan) karet adalah faktor utama (terbesar) yang mempengaruhi perkonomian masyarakat (wilayah) Jambi adalah. Karena ±90% penduduknya adalah berkebun (membudidayakan) karet, sedangkan sisanya ±90% adalah perkebunan kelapa (kopra)[69] di [Kuala] Tungkal (wilayah utara Jambi) yang merupaka mata pencaharian utama penduduk di daerah ini.[70]
Di daerah Sumatera, banyak pelabuhan-pelabuhan ekspor dan impor. Sedangkan di wilayah Jambi sendiri, ada tiga pelabuhan, yaitu pelabuhan Kuala Tungkal (di muara sungai Pengabuan) termasuk pelabuhan utama (penting) kopra di Jambi, pelabuhan Muara Sabak (di Muara sungai Batang Hari) dan pelabuhan kota Jambi (di muara/sungai Batang Hari).[71]
Pada tahun hingga tahun 1938 ini dari pelabuhan Kuala Tungkal mendapatkan penghasilan kotor (bruto) sebesar f. 2.000.000 dari hasil ekspor kopra. Sementara itu ada enam perahu yang tertunda selama 30 jam untuk memuat kopra. Di Kuala Tungkal pada saat ini terjadi “eksplorasi” besar-besaran dan masyarkat akan terus melakukan ekspansi budidaya kopra ini. Ada sedikit hama (penyakit) yang menghinggapi tanaman kelapa, sehingga wajar mempengaruhi kualitas kopra.[72]
Pasca kemerdekaan tahun 1950-an, ekspor kopra dan resmi dan tidak resmi (illegal melalui smokkel) melalu pelabuhan Kuala Tungkal semakin meningkat. Hal ini dikarenakan tidak ada lagi penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Polisi Negara Republik Indonesia gencar-gencarmya memberantas penyelundupan di Kuala Tungkal yang sekarang sudah mulai berkurang. Sebelumnya dapat dilaporkan bahwa ekspor kopra dari daerah ini ke Singapura pada tahun 1952 telah meningkat sebesar 25% (persen).[73] Sebagaimana dilaporkan oleh Aneta, pada tahun 1953, Kepala Kepolisian Kabupaten Batanghari, Jambi, Komisaris Polisi Mahjudin [Harahap] melakukan inspeksi di kawasan perairan Jambi, bahwa penyelundupan dari Kuala Tungkal, Muara Sabak dan Nipah Panjang ke Singapura sekarang mulai berkurang, hal itu akibat dari harga karet. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk memerangi penyelundupan yang sebelumnya merajalela, akan tetapi personel dan sarana transportasi masih kurang, maka ia akan melakukan perbaikan dan mutasi pada stafnya, katanya.[74]
Pelabuhan Kuala Tungkal adalah termasuk salah satu Pelabuhan Internasional ketika ini, karena di pelabuhan ini adalah tempat ekspor-impor barang ke luar negeri, seperti ke Singapura. Sebagaimana dilaporkan oleh Antara, bahwa pada tahun 1959 ada sekitar 21.000 ton kopra yang menunggu pengiriman di pelabuhan Indonesia. pengiriman, menurut kantor berita Antara melaporkan. Karena Perusahaan pelayaran tidak bisa mengangkut, maka kopra tersebut disimpan di pelabuhan Pontianak, Kuala Tungkal, Teluk Betung, [Tanjung] Priok, Manado dan Makassar.[75]



2.       Perkebunan Karet
Selanjutnya mengenai perkebunan karet rakyat di Jambi sebagaimana yang diceritakan, budidaya karet mulai berkembang sejak intervensi Residen pertama Jambi O.L. Helfrich (1906-1908) yang mengadakan bibit karet sebanyak 30 ribu batang dan kemudian membagikannya kepada penduduk pada tahun 1907. Dengan bibit yang baik diharapkan hasil sadapan juga baik, sehingga dapat digunakan membayar pajak kepada Pemerintah. Oleh adanya kemudahan memperoleh bibit, lahan-lahan yang dapat ditanami banyak tersedia, penanaman yang hampir tidak mengeluarkan biaya dan usaha tanaman karet ini tidak mengganggu kegiatan ber, maka tanaman karet mulai meluas, bukan hanya di sepanjang aliran sungai yang berdekatan dengan pemukiman, tapi sampai merambah ke kawasan hutan di sekitar dusun atau desa. Masa awal perkembangan perkebunan karret rakyat meliputi kurun waktu 1906-1920 dan berkembang pesat antara 1920-1928, karena didorong oleh kenaikan harga karet dan semakin meningkatnya permintaan bahan baku karet untuk beberapa produksi industri.[76]



Sejak beberapa tahun terakhir (pada tahun 1912), terjadi permintaan yang besar untuk budidaya karet (Hevea Brasiliensis) dan peningkatan rotan sego (Calamus Calsius). Bahwa tanah untuk budidaya produk yang tersebut cocok untuk perkebunan yang ada di daerah rendah pasang surut.[77]
Tabel 4.2: Hasil karet yang dipasarkan oleh penduduk Jambi.[78]
No
Tahun
Ekspor (Kg)
1
1912
10.000=
2
1913
41.000=
3
1914
122.000=
4
1915
497.792[79]
5
1916
440.873=
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa perhitungan harga karet rata-rata 1 kg seharga ฦ’.1 (per pound) yang berarti perolehan pendapatan penduduk asli (inlander) pada tahun 1915 sebesar ±ฦ’.500.000.
Hal tersebut berdampak positif pada kesejahteraan penduduk asli walaupun meningkatnya daya beli (daya saing) yang secara secara tidak langsung meskipun harga konsumsi (beras asing) cukup tinggi atau jauh meningkat, hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan.
Pada tahun 1924-1926, terjadi penurunan ekspor karet. Hingga seterusnya mengalami penurunan yang cukup segnifikan. Akan tetapi pemerintah Belanda tetap mendapatkan keuntungan sebesar f.16.000.000,- (16 juta gulden). Sehingga di daerah Jambi banyak dibangun jalan dan jembatan.[80]
Ekspor karet beberapa tahun terakhir mengalami penurunan, sebelumnya pada tahun 1928 ekspor karet mencapai 32.782.452 Kg namun pada tahun 1929 turun menjadi 31.437.397 Kg. Begitu juga ekspor ikan kering dan ikan asin ke Singapura yang semula pada tahun 1928 hanya 6.001 Kg kemudian pada tahun 1929 meningkat menjadi 68.474 Kg.[81] Di onderafdeeling Jambi, banyak orang-orang Banjar yang menetap di marga Tungkal Ilir sebagai menyadap karet.[82]
Daerah Hulu Sungai[83] cukup memberikan perhatian, di mana kemakmuran penduduk di daerah ini cukup tinggi dengan hasil budidaya karetnya. Daerah Jambi di Sumatera, jika dibandingkan dengan Hulu Sungai di Kalimantan, walaupun budidaya karet hanya sebagian kecil atau tidak sebesar daerah Jambi, namun dapat menjadikan Hulu Sungai menjadi daerah makmur, selain itu juga merupakan daerah berlimpahan beras.[84]
3.       Perkebunan Pisang
Selain bersawah, orang-orang Banjar juga memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan bertani, yaitu menanan (membudidayakan) pisang dan keladi dalam skala besar sehingga terdorong keinginan untuk menambah income sehari-hari. Hal tersebut juga dilakukan sambil menunggu kebun kelapa yang ditanam hingga menghasilkan buah nantinya, tentunya hal tersebut dapat juga menghasilkan keuntungan. Pisang dipanen ketika buah di tandan masih hijau, diperam sekitar seminggu sehingga ia menguning dan masak dan dapat pula menjaga (mencegah) agar tandan jangan cepat rusak. Jika setelah dua atau tiga tahun, budidaya pisang dengan cara menanamnya di antara di antara batang kalapa tidak lagi menguntungkan, maka menanam pisang tersebut tidak lagi dilanjutkan di kebun tersebut. Banyak perkebunan pisang besar ditemukan di sepanjang tepi sungai. Buah pisang yang telah dipanen tersebut diangkut dengan transportasi sampan dengan muatan penuh (sehingga membuat sampan hampir tenggelam) yang dijual/ditawarkan ke daerah tetangga untuk dijual di pasar. Jenis pisang yang dijual seperti pisang raja, pisang susu, pisang tandak, pisang mas, pisang gembor, pisang udang dan pisang kepok. Ada juga pisang jenis rotan, lilin dan lainnya namun kurang dikenal dan jarang dijumpai di pasaran. Ada juga jenis pisang langka dan mahal harganya seperti pisang Ambon dan pisang Ambon Lumut. Adapun jenis tanaman pisang untuk diekspor yaitu pisang tanduk dan pisang puan. Budidaya pisang sangat penting khususnya di distrik Tungkal (Onderafdeeling Jambi).[85]

Tabel 4.3: Menurut laporan Impor dan Ekspor Hindia-Belanda tentang ekspor pisang dari pelabuhan Kuala Tungkal (Distrik Tungkal) selama tahun 1929-1935, yaitu:[86]
Tahun
Tandan
Bruto (kg)
Harga (f.)
1929
131.410
680.264
39.660
1930
228.560
1.140.055
68.170
1931
175.794
878.320
52.743
1932
53.370
272.600
16.161
1933
31.587
158.658
9.616
1934
57.870
290.705
10.152
1935
140.930
712.700
21.165
Di daerah Kuala Tungkal, budidaya pisang hanya pekerjaan sampingan/sementara pada kebun kelapa yang baru direklamasi.
4.       Perkebunan Keladi
Begitu juga pada ketika itu, selain bertanam pisang, orang-orang Banjar di Kuala Tungkal bagian Distrik Tungkal (Onderafdeeling Jambi) juga membudidayakan atau menanam keladi (Colocasia) dalam jumlah besar yang merupakan salah satu komoditas ekspor yang sangat penting. Menanam keladi tidak memerlukan tanah khusus seperti halnya pisang, karena tanaman ini tumbuh di tanah gambut begitu mudah yang juga ditanam pada perkebunan kelapa yang sudah ada.[87]
Selain beras yang dihasilkan oleh masyarakat, untuk mengisi kebutuhannya sendiri (sehari-hari), orang-orang juga menanam kacang-kacangan, tebu, kapuk, pinang, aren, wijen, pisang, buah-buahan, tembakau dan kelapa secara eksklusif. Begitupula di sekitar Ibukota Jambi, banyak perkebunan nanas yang (cukup besar) juga ditanam oleh orang-orang Banjar.[88]

C.      Pengolahan Hasil Hutan
Perkebunan percobaan, terletak di tanah tinggi (pematang), serta di [Kuala] Tungkal di dataran rendah telah menderita keadaan kekeringan sengit (kemarau). Perkebunan dan pengelolaan hasil hutan di kota Jambi sudah agak maju. Oleh pejabat terkait menganjurkan (mendorong) dengan penuh semangat dan semaksimal mungkin, sehingga di mana-mana rakyat banyak mengelola hasil hutan dan berkebun (terutama rotan, kelapa, pinang, tembakau, dll). Banyak pejabat pemerintah yang ditempatkan pada daerah-daerah perkebunan dan daerah yang kaya akan hasil hutan.[89] Selain menggeluti bidang pertanian dan perkebunan yang biasa dikerjakan seperti menanam padi dan menanam kelapa, ternyata orang-orang Banjar juga ahli dalam mengelola hasil hutan dan berkebun nanas (khususnya di sekitar Ibukota Jambi) untuk kebutuhan hidup.
Tabel 4.4: Berikut beberapa ekspor produk hasil pertanian dan hutan dari Pelabuhan Jambi, Muara Sabak dan [Kuala] Tungkal tahun 1910 dan 1911.[90]
Produk Pertanian dan Hutan
Ekspor
1910
1911
Kuantitas (Kg)
Nilai
Kuantitas (Kg)
Nilai
Djeloetoeng
147.5966
f.
312.676
2.320.488
f.
470.499
Getah Pertja
201.825
f.
277.128
83.194
f.
124.677
Getah Soesoeh
347.765
f.
577.877
169.109
f.
265.354
Plantage-rubber


f.
3.758
Damar
24.866
f.
5.462
9.423
f.
495.074
Rotan[91]
3.213.359
f.
362.843
3.821.942
f.
627
Ananas

20.880






stuks


Ijzerhout/
Ironwood
277 Mtr3
f.
14.000
626 Mtr3
f.
32.000
Setelah Kuala Tungkal semakin ramai, maka budaya menanam kelapa dan membuka sawah untuk menanam padi juga terus berkembang, maka di Kuala Tungkal dan Muara Sabak banyak terjadi penebangan pohon-pohon, tetapi masih dalam skala kecil hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pribadi seperti kayu bakar dan arang, namun hal tersebut bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Karena hal tersebut, maka keluarlah Peraturan Residen Jambi atau Residents Besluit (RB) tanggal 31 Mei 1932 Nomor 207 dan diubah oleh keputusan dari 8 Agustus 1934 No. 418, 16 April 1935 No. 137 dan 15 Juli d.a.v. No. 335.
Dalam 9 bulan pertama tahun 1934, ekspor ke Singapura sekitar 13.175 m3 dari Kuala Tungkal dan 2.548 m3 dari Muara Sabak yang mana permintaan dari Singapura terus meningkat untuk pembuatan peti mati. Karena hal demikian, maka keluar pulalah Peraturan Residen Jambi atau Residents Besluit (RB) tanggal 15 Juli 1935 No. 355 mengenai peraturan ekspor kayu di daerah pesisir Jambi (Kuala Tungkal dan Muara Sabak).[92]



Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Tanjab Tempo Doeloe - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya